Senin, 12 Agustus 2013

Salah


Wadao!!! Besok aku sudah masuk. Jantung berdebar kencang sekale…. Sangkin kencangnya, rasa-rasanya mo copot. Plese bah!!! Aku nggak mau hari pertamaku di SMA, ku lewati dengan rasa malu. Aku benar-benar baru sadar. Gimana donk?! Mana malamnya aku susah tidur lagi.
***
Untung aja, aku bisa bangun cepat. Setibanya di sekolah aku langsung ke papan pengumuman. Kurang lebih ½ jam ku pandangi papan itu, tapi…u…uhu…aku kesal. Benar-benar di luar dugaan. Nggak ada satupun nama yang aku kenal, selain namaku sendiri. Tapi aku nggak membiarin kekesalanku me nguasai. Aku liat tempat duduk nganggur dekat taman seko lah. Akupun duduk di situ. Ngaso bentar gitu! Dari situ ku la yangkan pandangan jauh ke depan sambil mengge lengkan ke pala perlahan. Pan danganku terhenti pada seorang anak pe rempuan yang sedang berjalan di sekitar lapangan se kolah tak tentu arah. Langsung aku pergi deketin dia.
“Hei! Anak baru, yach?!”, sapaku menepuk punggungnya, sok akrab.
Dia tersentak dan mandangin aku dari atas ke bawah. Lalu dia tersenyum ramah dan ngomong, “Anak baru juga khan? (nunjuk ke aku)”
Aku mengangguk dengan semangat. Dia langsung nyalam aku dan ngomong lagi “Nama ku Arneta. Kamu? Dari SMP mana? Kalo aku dari SMP T Tinggi ”
“Aku Karmel, panggil aku Kame. Aku dari SMP Medan, Emang napa? (santai)”
“Kebetulan! Berhubung aku pendatang tolong aku, yach? Kame tentu tau banyak mengenai kota Medan. Misal nih, Neta bingung tentang angkutan di sini. (ramah)”
“Apanya yang bingung? (bingung)”
“Begini, angkutan di sini banyak kali nama dan nomor nya, truz ada yang namanya sama dan nomor yang laen-laen atau sebaliknya. Neta jadi bingung, gimana sih?”
“Oke deh! Kame akan bantu sebisa Kame. Kalo masalah angkot, lama-lama juga nanti Neta terbiasa (sambil tesenyum ramah)”
Sejak saat itulah persahabatan kami di mulai. Akupun menjalani hari-hari ku di sekolah bersama Arneta dan teman-teman lainnya.
***
Hari selasa jam 7 pagi. Gitu lewat gerbang sekolah, aku berlari mendapati Neta. Neta sedang ngobrol dengan teman-te man di kelas. Tanpa ragu-ragu aku langsung nyulik dia, mem bawanya ke bangku paling belakang di sudut ruangan kelas. Dengan suara tertahan aku memulai bicaraku.
“Neta tau khan, si Reno anak kelas sebelah?”
“Ya…ya…”
“Semalam itu Neta pulang sendiri, khan. Nah, waktu itu si Reno ngomong ke aku. Dia itu NEM…BAK…A…KU…”
“Hah! (spontan) J…jadi gimana? Kame jawab apa? (gugup)”
“Belum lagi! (sedikit ketus) Untuk itu Kame ngomongin ini ke Neta. Menurut Neta gimana, neh? (mulai lembut)”
“Tinggal di Kame-nya aja. Kalo Kame suka ama Reno, nggak ada salahnya khan!?”.
Singkat cerita aku menerima Reno, dan kamipun jalan. Sekarang waktuku sudah terbagi. Aku nggak ngerti, kenapa sejak aku jalan ama Reno, Neta sepertinya…? Apa… itu perasaan aku aja kali ya? Karena penasaran, aku nanyain hal itu. Dia hanya bilang, supaya aku dapat dengan bebas ngejalani hubunganku dengan Reno. Dan aku tidak perlu khawatir kapan pun aku butuh dia, dia selalu siap. So, aku merasa aman-aman aza gitu lho.
***
Pertengahan semester ini, aku denger gosip bakal ada anak baru. Denger-denger neh dia cewek. Bu Anna wali kelas kami memasuki ruang kelas.
“Hari ini kita kedatangan teman baru, pindahan dari Bandung.”, Bu Anna mengumumkan.
“Ayo, sekarang kamu sudah bisa masuk”. Si murid baru-pun masuk. Ternyata dia seorang laki-laki! Aku dan Neta terkejut hingga membuat kami terbelalak. Seperti biasanya, dia memperkenalkan dirinya di depan kelas.
“Perkenalkan nama saya Iraz. Saya dari bandung”, dia menghentikan perkenalannya. Aku melihat ke arah Neta, dia tampak tak begitu memperhatikan perkenalan si Iraz’
“Iraz pindah, karena orang tuanya dipindahtugaskan ke sini.” Bu Anna menambahkan. “Ada pertanyaan ?”, sambungnya. Bu Anna menunggu beberapa menit. “Tampaknya, tidak ada pertanyaan lagi. Baiklah, kalau begitu perkenalannya cukup sampai disini. Oke, kita lanjutkan pelajaran kita”.
***
Si Reno Hobi banget ama basket. Akhir-akhir ini, dia keseringan latihan. Awalnya seh, aku terima-terima aza, walaupun aku sedikit…. Memang seh itu kerena timnya akan mengikuti beberapa turnamen. Sebelumnya dia udah ngomongin ini ke aku. Aku mencoba ngertiin itu.
Teng….teng….teng…. pertanda sudah waktunya pulang. Buru-buru aku ngejumpai Reno, rupanya dia masih latian. Aku bermaksud pulang bareng Neta. Dalam perjalanan mencari Neta aku dengar anak-anak bergosip. Masa, mereka bilang kalo Iraz teman lama Neta. Truz katanya lagi kalo si Iraz lagi nembak Neta. Aku jelas enggak percayalah. Hebat benar si Iraz itu baru juga satu minggu lebih di sini, udah jadi artis gitu! Kalo itu memang benar, akukan sahabatnya, masa Neta enggak ngasi tau ke aku? Aku ngedapatin Neta sedang ngobrol berdua dengan si Iraz. Aku langsung  berpikir kalo gosip itu benar. Aku pergi dengan perasaan kesal, Neta melihatku. Dia mencoba ngejar aku, tapi aku berhasil menghindarinya. Ku liat, Neta tampak kecewa. Aku benar-benar kecewa banget kenapa seh, dia nggak ngomong dulu ke aku. padahal aku dulukan…. Aku ngerasa dia nggak nganggap aku lagi. Tak lama kemudian, Reno ngedapatin aku.
“Eh, Kame kamu tau khan si Data? Itu tuh ketua kelas kalian. Ngeselin banget tau nggak seh! Begini ketika kami main, aku jadi merusak permainan gara-garanya permainanku ama dia nggak bisa nyambung. Gaya-gayanya dia kayak nggak seneng gitu ama aku. Jadinya aku habis-habisan dimarahi pelatih, deh”. Karna masih kesal aku tidak menggubrisnya. Langsung aja aku pergi.
“Hei! Kame kamu denger aku nggak sih? (sambil mengejarku, sedikit ketus)”.
Mendengar perkataannya aku jadi naik pitam, langsung aja aku berteriak, “Iya… ya….ya! Aku denger! Emang kamu mau aku bagaimanan lagi, hah!?”
“Oi, Kame! Jangan pake teriak napa!!! (emosi)”
“Udah ah! Aku udah muak! (kesal)”
“Oh… Oke!!! Kalau kamu memang udah muak, kita putus!…. Puas!!! (makin emosi)”
Aku tak kalah panas “Udahlah! Terserah kamu saja. Pergi sana!”
Renopun berlalu. Ku liat dia seperinya marah besar. Aku langsung bergegas untuk pulang.
***
Pagi ini aku maleeez banget. Mauku sih, hari ini nggak sekolah. Tapi kalo aku enggak sekolah mama pasti akan marah. Dia sudah hafal akal-akalan ku untuk tidak ke sekolah.
Selama di kelas aku terus nyuekin Neta. Waktunya istrahat. Aku langsung bergegas untuk ke luar ruangan, tapi Neta berhasil menahanku. Mau nggak mau aku harus tinggal.
Neta mencoba menjelaskan “Sebenarnya Neta ama Iraz udah lama kenal. Dia sempat sekolah di T. Tinggi di SMP yang sama dengan ku. Dia udah lama suka ama Neta, bahkan kami sempat jadian. Tapi sehari sesudah kami jadian Iraz mendapat kabar, kalo ayahnya dipindahkan ke Bandung. Seminggu sesudahnya mereka pindah. Dua hari sebelum mereka pindah kami memutuskan untuk putus. Makanya, waktu Iraz memperkenalkan diri, aku tidak begitu memperhatikannya. Aku bermaksud menceritaka hal ini ke Kame. Tapi seperti bisa Kame selalu bareng Reno. Aku tak ingin mengganggu. Kupikir hal ini tidak begitu penting, jadi ku tunda dulu niatku. Rupanya Kame keduluan tau, ditambah lagi Kame memergoki kami. Neta baru SMA ini jumpa lagi ama Iraz. Sekarang kami merasa biasa-biasa aza tuch!”
“O…o…oh… (ragu-ragu)”
“Udahlah. Yang penting Kame udah tau semuanya (Neta, nyoba ngibur aku)”
Tak lama, ngerasa udah tenang, aku ceritakan semuanya ke Neta. Aku juga minta maaf. Mendengar itu Neta kayaknya sedikit terkejut, dan tak berkomentar apa-apa. Kami pun melanjutkan persahabatan kami yang seolah-olah sudah terputus.
Teng…teng…teng…Oh, tidak! Waktu istrahat sudah habis!
“Gimana neh?” desakku ke Neta sambil memegang perut. Tanpa basa-basi Neta langsung ngasih botol minumannya. Sesungguhnya, kalo hanya itu, sih nggak cukup. Tapi… mau bagaimana lagi? Aku tak bisa mengeluh lagi.
Sambil minum, aku dengar Neta berteriak “Iraz…Iraz…”
Tak lama, kulihat di mejaku ada dua bungkus roti, langsung aku menyambarnya.
***
Sebelum pulang, aku mampir ke swalayan membeli satu paket bahan puding. Gitu nyampe di rumah aku ngajak mama membuat puding. Keesokan paginya, selesai berbenah, eh! Ternyata Mano dan kak Meta lagi sarapan puding. Untung aza, semalam aku buat pudingnya agak banyak (2 loyang). Ku potong puding di loyang yang belum tersentuh, ku masukkan ke tempat bontot, lalu ku masukkan ke dalam tasku. Gitu nyampe kelas, aku langsung ketemu Neta. Ku tarik tangannya, aku ngajak Neta nyari Reno. Nggak taunya pas di depan pintu ku liat Iraz sedang berdiri. Langsung aza ku tarik tangannya. Pas mau turun tangga Reno sudah berdiri hendak naik. Cepet-cepet aku turun menjemputnya. Kamipun berdiri dekat tangga. Ku keluarkan tempat bontotku, ku serahkan ke mereka sambil nunduk dan berkata “Maafin aku, ya…..?”
Tak lama, terdengar suara Reno “Jadi kita…baikan neh?”
“Eh! Ti…e, iya!”, terkejut, sambil meliriknya dan tersenyum.
“Udah, dong Kame! Kami betiga udah maapin kamu. Iyakan Iraz?” kata Neta nyoba ngilangin keteganganku.
“Iya! Benar kata Neta. Jadi, gimana? Kayaknya enak nih?!”, kata Iraz keliatan nggak sabar.
Perlahan ku angkat kepala ku dan mereka ngetawain aku. Aku jadi sedikit malu.
“Gitu dong!”, sambung Neta. Pudingnya kami habisin bersama.
***
Aku liat Iraz dan Neta cukup akrab……
Hari ini aku ngajak Neta pulang bareng. “Mana Reno?”, tanya Neta.
“Rencananya sih, pulang betiga. Tapi, tadi ku liat kayaknya dia latian masih lama. Jadi…. (setengha bingung)”.
Aku dan Neta Jalan ampe Simpang Adam Malik. Baruuu aja kami nyampe, tau-tau si Mano udah datang dengan mobilnya.
Dia langsung ngomel-ngomel “Ayo-ayo cepat! Nanti keburu habis. Itukan limited edition”
Di perjalanan si Mano nanya, “Emang, apan seh?”
“Ah…nanti juga ku bilangin Mano nggak bakalan ngerti! (sedikit ketus) Oh yach, kita langsung pulang aza!”
“Pulang!? Eh, nggak jadi? (spontan, agak heran)”
“Nggak usah, ah! Lagi nggak mood, neh!”
“(Mano diam sejanak) Oh….oh….nanti di rumah, yach! awas lho, kalo nggak….”
“Iya…iya! (agak marah). Tapi nanti, bantu aku lagi yach? (sedikit lembut)”.
Besoknya, ku coba cari tau. Tapi…., sepertinya tidak ada yang terjadi. Gitu jumpa Neta aku langsung ngomong, “Maap yach, kemaren itu si Mano minta tolong ke aku (sedikit memelas)”
“Ya udah nggak papa. Aku juga sempat bingung. Tapi, ya udah lah”. Aku diam sebentar kalau-kalau si Neta cerita. Tapi tampaknya, tidak terjadi apa-apa. Ku ambil kertas selembar lalu ku tulis “B”, ku kasi ke Reno. Reno tersenyum, dan meberi isyarat ok.
***
Wah, wah….. enggak terasa yach, ntar lagi natal neh! Reno dan aku kepilih jadi MC, si Neta ngisi acara (baca puisi dan bernyanyi). Sedangkan Iraz non-Kristen. Istrahat kali ini aku dan Neta nongkrong di Kantin. Tiba-tiba Iraz datang ngejutin kami dengan membawa seabrek cemilannya.
“Aku pengen banget ikutan natal. Ntah apa, gitu!”, katanya.
“Em…. Kalo drama kayaknya ada.”, jawabku sok serius.
Iraz langsung motong dengan mata yang berbinar-binar, “Emang bisa? Mau, mau. Jadi apa?”
“Em… jadi, pohon natal!”, jawab ku usil sambil tertawa kecil.
“Uh….uh….dasar Kame. Bisa aja kamu.”, balas Iraz sambil tersenyum. Kamipun tertawa.
“Lagian Iraz juga, ada-ada aja?”, balas Neta.
“Hayo! Ngomongin apa nih? Kok kayaknya senang banget?”, Reno ngejutin kami lagi. Aku ceritakan semuanya ke Reno. Reno sempat ketawa.
“Teringatnya nih, aku malas kalilah nge-MC, nanti?”, keluh Reno.
“Oh yach, kebetulan Kame juga males. Kame kirain Reno mau? Makanya…”, ungakap ku.
“Kalo gitu, sekarang aja aku bilang ke guru yach. Biar, kita sempat diganti! Oke!”.
Kami betiga nunggu Reno di kantin. Lima belas menit kemudian Reno datang lagi.
Reno ngomong dengan gaya tak bersemangat “Kame, Guru bilang iya!”
“Oh, iya! Baguslah.”, jawab ku.
“Eh kita udah mo masuk nih, ke kelas yuk.”, ajakku.
“Kalian bedua nggak ikut?”, tanyaku.
“Kalian duluan aja.”, pinta Iraz sambil menggenggam tangan Reno.
“Ya udah, kami duluan yach?”, balas ku.
Kami pulang berempat. Sepert biasa jalan ampe simpang Adam Malik, nunggu angkot.
“Eh Iraz, yang kamu bilang tadi kayaknya aku nggak bisa. Sori yach….”, Reno ngomong.
“Yah….gimana donk?”, keluh Iraz.
“Emang apaan seh?”, tanyaku.
“(Iraz menjelaskan ke aku dan Neta)….begitu.”
“Oh….oh….”, aku dan Neta serentak.
“Kami nggak janjian lho!”, eh, kami serentak lagi. Sekarang kami berempat serentak spontan ketawa.
“Udah…udah…. Sekarang hari minggu kalian betiga mau yach, nemenin aku? Truz ada nggak yang bisa minjamin aku stelan jas, hm?”, Iraz ngomong dan berusaha menghentikan ketawanya.
Lantas aku jawab, “Em….(ngeliatin Iraz dari atas ke bawah), kayaknya bisa. Tapi punya Papa, kalo punya Mano nggak mungkin. Badannya nggak sebesar kamu”
“Eh, Kame kamu nggak bohongkan. Emang…”, balas Iraz.
“Oh, yach! bener-bener! Aku udah pernah liat. Kemaren waktu aku ikut kalian kerja kelompok. Ya khan, Neta? Kalian khan (nunjuk ke aku dan Neta) satu kelompok”, potong Reno sebelum Iraz sempat nyambung omongannya.
“Iya! Reno benar! Aku baru ingat.”, Neta menegaskan.
“Ah, yang bener? Kalo gitu Papanya Kame keren dong?! Pantes anaknya….nggak cantik-cantik amat sih. Tapi nggak malu-maluin kok.”, balas Iraz.
“Uh…”, balas ku.
“Neh, satu lagi mumpung kalian mau diajak jalan-jalan, temenin aku nyari bahan tugas seni rupa yach? Sabtu ini yach jam 4 sore, selesai aku latihan. Tunggu aku di Joglo!”, ajak Reno. Aku sedikit heran, biasanya khan…. Tapi sudahlah.
“Kalo gitu aku pulang dulu dong, nanti.”, kata ku.
“Aku juga.”, kata Neta.
“Aku nggaklah. Aku nunggu aja.”, Kata Iraz.
“Ok, deh! Kita sepakat yach!”, tutup Reno.
Hari sabtu, semua berjalan sesuai rencana. Pas aku buru-buru mo pigi, kring…..kring….., telepon berdering. Entah kenapa, aku yang ngangkat? Padahal khan... “Hallo”, kata ku.
“Hallo. Kame? Aku Neta.”
“Ah, yach.”
“Aduh… gimana ya? Mama nyuruh aku ngantarkan titipan temannya. Katanya penting. Dan kalo bisa titipan itu harus segera sampai. Nggak papa yach…”
“Ya, udah.”
Aku udah nggak mo datang, tapi…. Udalah. Gitu di Joglo, ku lihat mereka (Reno & Iraz) ngobrol, lalu Reno pergi. Kami berselisih, tapi Reno tak mempedulikan aku. Aku terheran-heran sambil menjumpai Iraz untuk menghilangkan rasa penasaranku. Tak sempat aku ngomong, Iraz langsung menjelaskan, “Kata si Reno begini….. ngertikan?!”.
“Oh… ya…ya… jadi kita nunggu mereka dulu di sini. (ngangguk.)”
“Oh yach, titipan Neta Iraz bawa, khan?”
“Tentu donk, ini… Eh! nanti aja deh. Sekalian ama Neta.”
“Ya, udah!” Sudah 15 menit kami menunggu. Tapi tak ada tanda-tanda dari Reno. Iraz tampak gelisah, dan tiba-tiba tersenyum. Aku penasaran, apa seh yang dia liat? Lalu aku liat ke belakang. Pas aku liat ke belakang nggak ada apa-apa pikirku.
“Eh, ya udah deh. Kalo gitu sekarang aja lah.”, katanya.
Aku makin heran. “Apaan seh?”, tanya ku penasaran.
“Begini, sebenarnya. Maksudnya sekarang aku mo ngasi ini ke Kame.”, katanya.
“Lho, tapi katanya mo langsung aja. Kok?… (bingung)”
“Maksud ku ya… Kame mau jadi…. Pacarku?” Aku hanya tediam, nunduk nggak tau mo bilang apa mengingat statusku sekarang.
Di tengah kebingungan ku, tiba-tiba dia ngomong lagi, “Kame kita putus aja yach?”. Aku terkejut. Aku benar-benar nggak habis pikir, masa dia baru nembak langsung minta putus, mana belum ku jawab lagi. Ku tengadahkan mukaku. Rupanya! Si Reno yang ngomong, di sampingnya juga ada Neta. Aku malah tambah diam.
“Sebenarnya,  udah lama mau ku kita putus saja. Tapi aku nggak mau gara-gara putus, kita malah musuhan. Aku kirain yang selama ini ku suka Kame. Aku salah orang. Tapi satu hal lagi yang membuat ku yakin untuk mutusin Kame, waktu aku liat Kame pas kita ngomong berempat, mata Kame sesekali melirik Iraz. Tidak hanya itu sih! Hanya saja itu yang membuat ku yakin.”
“Tapikan….”, aku mencoba menyela.
Belum sempat aku siap ngomong, Reno memotong, “Udah lah Kame. Nggak usah ngebohongin diri kamu sendiri, gitu dong! Aku tau kamu sendiri nggak nyadar atau ada alasan lain. Maka aku mo nyadarin dan membuatmu yakin. Aku ngerti perasaanmu, walaupun tidak semua. Paling enggak aku bisa menghilangkan keraguanmu. Ditambah lagi ketika Iraz minta izin untuk nembak kamu. Maksudku sih, aku bilangnya waktu kita beduaan sebelum Iraz nembak Kame. Tapi, kayaknya Kame udah ngeliat aku ama Neta tadi. Nah sekarang kamu aku nyatakan bebas!”
“Bebas! Bebas! Emang aku tahanan! Oh, yach! Tadi itu aku bener-bener nggak tau kalo Reno dan Neta udah datang. Makanya aku tekejut setengah mati waktu tau kalian ada. Kame kirain Reno mo brantem ama Iraz.”, balasku.
“Truz satu lagi, inikan….”, sambung ku (jari ku nunjuk ke Iraz dan Neta).
“Oh.… Sebenarnya ini rencana aku dan Iraz. Waktu aku dan Iraz ngomong di kelas kemaren. Yang itu lho, yang Kame pake acara marah, ingatkan? (aku mengangguk), Iraz tau kita sobatan. Di situ Iraz bilang ke aku kalo dia suka Kame. Truz aku nggak mau hanya gara-gara ini, Iraz dan Reno brantem. Jadi ku bilang Reno itu pacarmu. Untung Iraz orangnya sportif, walaupun sedikit nekat. Jadi, dia mengurungkan niatnya itu. Tapi…. dasar Iraz orangnya agak nekat dan nggak sabaran, tau-tau dia ngomong ke Reno. Aku nggak tau apa yang membuat Iraz senekat itu.”, Neta menjelaskan.
“Oke deh, sekarang semuanya udah beres. So Kame?”, Iraz mencoba kembali pada topik semula. Aku diam lagi. Sebenarnya aku nggak pengen diam. Tapi… aduh gimana seh! Aku sendiri kesel. Iraz narik napas dalam-dalam, lalu ngomong “Yah… Bersediakah Kame menjadi pacarku? (memegang sebuah hadiah yang dari tadi dipegangnya)”
 Aduh…kok kayak acara pemberkatan gini seh! Pikirku. Lalu jawabku, “Ya, saya terima akad nikahnya dengan mas kawin sebuah kado. (sambil tertawa kecil)”
“Eh! Kok jadi acara penikahan gini. Oke deh, aku jadi…pastor ato penghulu, nih?” kata Reno sedikit bercanda.
“Oke deh, aku ngalah pastor aja.”, balas Iraz. Kamipun tertawa lepas.
Ditengah tawa kami yang menggelegar Neta ngomong “Kalo gitu aku jadi pendamping wanita, dong!”
“Aku, jadi pendamping pria!”, tambah Reno.
“Mana bisa gitu. Reno khan jadi pastor”, balasku.
“Siapa bilang! Yang jadi pastor khan si Rino! Bukan Reno. We!”, potong Reno. Tawa kami semakin menjadi-jadi.
“Oh, yach! Jadi, gimana besok?”, tiba-tiba aku teringat rencana kami.
“Nggak, jadilah. Itu main-main aku aja.”, jawab Iraz.
“Enak aja, main batal-batal! Mana bisa! Makan-makan dong”, balas Reno nggak mau ketinggalan.
***
Sekarang kami memasuki semester genap. Nggak seperti biasanya, Iraz kelihatan enggak bersemangat. Aku tanya ke Iraz kenapa dia nggak semangat gitu? Dia hanya bilang kalo dia lagi nggak enak badan. Tapi, aku nggak percaya. Aku coba cari tahu, tapi percuma! Aku sempat kesal dibuatnya. Akhirnya dia mengaku juga. Kami berempat pulang bareng. Iraz ngajak mampir ke joglo.
Di situ dia ngomong, “Dua minggu lagi, aku bakalan cabut dari sekolah. Papaku disuruh balik ke Bandung. Aku juga nggak ngerti kenapa? Aku pikir aku bisa tetap tinggal. Rupanya, papa bersikeras agar kami sekeluarga ikutan. Aku nggak tau, harus ngapain lagi!”, kami semua terkejut mendengarnya.
“Jadi, gimana nih? Kalian khan nggak mungkin cerai”, timpal Reno.
“Enak aja! Khan masih bisa jarak jauh. Anggap aja Iraz lagi ngeranto. Supaya kami bisa sama lagi, aku harus belajar keras supaya bisa jebol di PTN Jawa. Bereskhan!”, jawabku berusaha ngehibur semua dan diriku sendiri.
“Makasih Kame. Lagi pula, itu juga belum begitu jelas. Kepastiannya juga baru besok.”, balas Iraz.
“Ya, udah. Khan masih dua minggu lagi. Bagaimana kalo kita buat acara perpisahan sabtu ini”, Neta mencoba menghibur.
Aku nyoba sebiasa mungkin, tapi kayaknya nggak bisa. Dua hari ini aku nggak semangat ke sekolah. Pagi-pagi sebelum masuk, kami berempat di kelas ngobrol…
“Nanti pulangnya, kita mampir di Joglo, yach?”, ajak Iraz sedikit semangat.
“Oke! Ya khan Neta Kame?”, jawab Reno nyoba ikutan semangat. Aku dan Neta hanya mengangguk.
Kenapa seh di dunia ini harus ada geografi?! Bagiku geografi itu sangat sulit untuk di mengerti. Teng…teng…., akhirnya... Aku liat Iraz langsung melaju ke luar. Apa dia mo memastikan kepindahannya ama pihak sekolah? Tak berapa lama Iraz datang dengan Reno besertanya. Lalu manggil aku dan Neta. Kami berempat berdiri di depan kelas.
“Oh yach, papaku di Bandung selama setahun aja. Siap itu balik lagi ke Medan. Jadi hanya papa yang ke Badung.”, Iraz memulai obrolan.
“Yang, bener!”, teriak ku spontan.
“Jadi, teringatnya, pulang nanti kitakan ke Joglo? Rupanya untuk ini yach.”, timpal Reno.
“Enak aja! Memang kita nanti ke Joglo buat makan-makan, tapi bukan untuk ini. Udahlah, kalian (nunjuk ke Neta dan Reno) ngaku aja, nggak usah pura-pura lagi. Pokoknya nanti makan-makan, yach?! awas lho. Oh… satu lagi, kayaknya….kemaren ada yang niat belajar supaya jebol ke Jawa. Aku harap itu tetap berlaku. Soalnya, aku juga bakal nembak ke Jawa lho.”, balas Iraz.
“Uhu…. Dasar Iraz jaat. Iraz khan udah tau itu nggak mungkin. Eh, tapi untuk kalian bedua, makan-makannya yach! Kami kemarenkan…”, balas ku. Kami tertawa lepas lagi.
Tiba-tiba… “Eh…eh… ngapain kalian pada ketawa-ketawa di sini. Nggak tau apa udah pada masuk!”, bentak Bu Anna. Kami buru-buru masuk kelas. Untung aja guru yang masuk ke kelas kami belum datang. Sedangkan di kelas Reno yang masuk Bu Anna. Untung Bu Anna sekarang lagi baik dia membiarkan Reno masuk ke kelas.
Oleh: Santyta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar