Senin, 12 Agustus 2013

Maksudnya apa sich?


Aku dan sepupuku Artha sedang asyik mengobrol di kamar. Aku mendengar suara dari balik pintu kamar. Ternyata Misy sobatku yang membuat suara itu. Aku sangat terkejut dibuatnya. Ada urusan apa dia datang malam-malam begini? Dia bersama seorang temannya. Ternyata, temannya itu cowok! Aku tahu sekarang! Kalian ngerti sendiri lah! Aku tidak mau keluar. Dia sudah menunggu di ruang tamu. Aku dan Misy bersitekak. Aku tinggal bersama orang tua. Aku juga memiliki seorang abang dan empat orang kakak. Mereka semua masih tinggal bersama ku sekarang. Aku sangat menghormati dan menyayangi kedua orang tua, kakak-kakakku dan abangku. Mereka semua adalah idolaku. Aku takut citra Misy di mata mereka semua rusak hanya gara-gara ini. Akhirnya akan sangat mempengaruhi persahabatan kami. Bila hal itu sungguh terjadi, itu merupakan suatu dilema bagiku. Artha hanya terdiam menyaksikan perdebatan kami. Misy mencoba meyakinkan aku. Dan…akhirnya aku mengalah.
Kami bertiga keluar menjumpainya, lalu Misy dan Artha masuk lagi ke kamar, me ninggalkan kami berdua di ruang tamu. Kamipun berkenalan, namnya Karel dan aku Felsa. Kurang lebih satu jam kami mengobrol. Percakapan kami tadi suasananya sangat kaku, seperti wawancara! Sesungguhnya aku merasa sedikit bosan. Aku bisa bertahan ha nya demi menghargai Misy.
***
Aku dan Artha sebaya. Sekarang kami menunggu pengumuman lulus-lulusan SMA dan persiapan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Semenjak itu aku dan Misy sering kontak-kontakan. Misy meminta ku agar aku dan Karel bertemu lagi. Hal ini sedikit sulit ku lakukan. Jadwal intensifku sudah sangat padat. Aku memulai intensif setelah UAN (Ujian Akhir Nasional). Tapi Misy terus mendesakku. Sekali lagi, aku mengalah.
Hari selasa, ku lihat jam tanganku, pukul 18:30. Aku sedang mengikuti di tempat bimbingan belajar. Di akhir intensif, sebelum pulang setiap tentor yang masuk mengadakan kuis. Hal ini dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui sejauh mana kami dapat menyerap materi yang baru saja disampaikan. Begitu selesai kuis aku buru-buru permisi duluan pulang dari. Artha sudah menunggu ku di luar. Kami intensif di tempat yang sama. Begitu aku keluar, kami langsung melaju ke Joglo UDA. Tampaknya kami sudah terlambat. Aku biasanya tepat waktu. Sesampainya di sana, kembali ku lihat jam tanganku (18:35), aku terlambat lima menit. Ku pandangi sekitar Joglo, belum ada tanda-tanda kehidupan dari Misy dan Karel. Lima belas manit kemudian, mereka tak kun jung datang. Aku mulai merasa kesal. Akhirnya pukul 19:00 kami memutuskan untuk pu lang. Hu…uh dasar mereka! Aku menyesal telah menyianyiakan waktuku. Kami sampai di rumah pukul setengah delapan lewat. Lima belas menit berlalu, aku dikejutkan dengan ke datangan mereka. Tadinya aku hendak makan, tapi  ku tunda dulu. Aku langsung menjumpai mereka.
“Aku baru nyampe! Belum makan! Tunggu di sini!”, ucapku masih kesal. Begitu selesai makan, aku keluar lagi menjumpai mereka. Aku melihat mereka sinis.
“Ini semua gara-gara Karel! Dia baru datang jam tujuh.”, Misy menjelaskan.
Mendengar itu aku menjadi semakin panas. Aku tidak peduli siapa yang salah. “Aku sekarang lagi kesellllleo! Kalo aku lagi kesel jangan ku lihat muka orang yang membuat aku kesel. So, bagusan kalian pulang saja!”, aku mencoba menahan emosi.
Misy menyuruh Karel meminta maaf, sambil berusaha membujuk ku dengan segala jurus-jurusnya. Rasa marah bercampur kesal masih menguasaiku. Aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak terbawa emosi. Akhirnya, mereka menyerah dan memutuskan untuk pulang.
***
Pendekatan Karel ini yang tahu hanya kami berenam (aku, Artha, Misy, Flo, Lita, dan Karel). Mungkin, kedua orang tua dan kakak-kakakku sudah tahu. Dan mungkin juga mereka menunggu sampai aku sendiri yang cerita. Kami berempat  sobatan sejak kelas satu SMA. Kami berteman sangat akrab. Begitu akrabnya, hingga kami berharap persahabatna kami akan abadi. Tapi semenjak kelas dua, Flo berubah. Mungkin itu karena aku dan dia tidak sekelas lagi. Walaupun begitu Flo masih kami anggap sebagai teman. Kami sama sekali tidak membencinya. Misy sangat tidak terima dengan perubahan Flo itu, sedangkan aku dan Lita biasa saja. Tapi, ketika Flo mendekati kami, Misy malah yang paling semangat. Sementara, aku dan Lita biasanya aja tuch! Aku, Lita dan Flo teman satu SMP. Lita dan Flo sudah bersahabat sejak kelas dua SMP. Sedangkan aku baru bergabung dengan mereka setelah masuk SMA.
***
Misy meneleponku. Dia berniat memberitahukan nomor teleponku kepada Karel. Aku mengindahkan niatnya itu. Satu lagi maunya, dia ingin aku berkunjung ke rumah Karel. Untuk yang satu ini aku jelas-jelas menolaknya.
“Tapi kemaren, aku minta nomor teleponnya saja ko bilang, ‘Gengsilah, Fel!’ mananya?!”, kataku mengeles.
Dia hanya terdiam, lalu beralih ke topik lain.

Karelpun jadi sering menghubungi ku. Setelah beberapa kali bertelepon, “Aku suka kamu Fel.”, katanya.
Tapi jawabku, “Aduh… apa itu nggak bisa kita bahas nanti aja?”
“Nantinya itu kapan? Yang pasti donk.”, desak Karel.
“Em…, gimana kalo selesai SPMB ato kalo bisa selesai pengumuman?”, tawarku.
“Aih…kenapa harus nunggu pengumuman sich? Kelamaan!”, desak Karel lagi.
Aku mencoba menjelaskannya. Untunglah dia mau mengerti.
***
Misy menelepon lagi “Fel, Karel kecelakaan! Sekarang aku ke rumahmu yach? Kita jenguk dia, yuk?”, Misy terdengar hampir menngis.
“Ah……iiiya!”, aku panik.
Kami pergi naik angkot (angkutan kota). Di angkot kami ngobrol, “Kapan Misy kenal Karel?”, tanyaku.
“Baru kemaren. Pas baru-baru masuk kelas tiga.”, Misy santai.
“Lho! Berarti Misy tidak begitu mengenal Karel donk!?”, aku terkejut.
“Em…sebenarnya…dia suka ama aku. Sementara aku menganggapnya seperti abang kandungku sendiri. Tolong aku yach, Fel?”, jelas Misy.
“Yah! Apanya maksudmu? Jadi maumu sisa-sisamu sama aku, gitu?! Tega kali kau sama aku!”, aku tak terima. Tapi suasa masih terkendali.
“(menunduk terdiam sejenak) M….Kemana pula si Nimo? Dia khan sisa-sisa kalian. Truz, kalian ejek aku sisa-sisa lagi!”, Misy membela diri.
“Lho! Itu khan laen. Sapa suru nggak ada yang Misy suka di antara mereka berempat. Kebetulan aza kami suka orang yang berbeda, dan yang tersisa tinggal si Ni mo. Truz itu khan maen-maen, masa dianggap serius seh!”, sanggahku.
Di sekolah ada genk cowok yang beranggotakan empat orang. Yaitu, Angga, Hendro, Alex dan Nimo. Aku menyukai Angga. Lita menyukai Hendro. Dan Flo menyukai Alex. Sementara Misy tidak ada menyampaikan pendapatnya kepada kami. Oleh karena itu, kami menetapkan dia menyukai Nimo. Di antara kami terbiasa bercanda. Misy tidak terima. “Jadi, maksud kalian sam aku sisa-sisa?!”, katanya. Karena ucapannya itu kami menjulukinya ‘sisa-sisa’.
“Truz, si Andre?!”, sekali lagi Misy membela diri.
Aku pernah menyomblangi dia dengan Andre. Tadinya, aku menyukai Andre. Aku tidak tahu ntah Andre menyukaiku atau tidak. Aku menyukainya sejak kelas dua SMP. Kami teman satu SMP. Aku sudah capek meneliti perasaan Andre. Cukup lama aku menantikan pengakuan darinya. Tapi, pernyataan itu tak kunjung terjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk melupakan perasaanku. Walaupun perasaanku tak kunjung berbalas, aku tidak membencinya. Dapat menjadi temannya saja, itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Dengan dijadikannya Andre sebagai alasannya, hal ini menunjukkan seolah Andre menyukaiku. Dan karena aku tidak menginginkannya, aku memberikannya kepada Misy. Kesimpulannya, hal yang dilakukannya terhadapku sekarang, sama halnya dengan penyomblanganku terhadapnya dengan Andre.
“Lho! Itu lagi! Jelas beda donk! Aku udah kenal dia sejak SMP. Kami khan teman satu SMP, lagi! Sedikit banyaknya aku sudah tahu gimana baik buruknya Andre.”, aku tidak terima.
“Felsa juga khan, pernah suka ama dia!”, Misy coba mengingatkanku.
“Misy khan udah tahu, sekarang nggak ada apa-apa lagi diantara kami.”, aku balik mengingatkannya.
“Ah, udahlah! Eh, pinggir bang!”, Misy kehabisan kata-kata.
***
Hari senin, kira-kira satu minggu setelah Karel pulang dari rumah sakit, dia menelepon. Ini bukan pertama kalinya dia menelepon ku dalam satu minggu belakangan. Dia meminta jawabanku atas penembakannya kemaren. Aku jelas terkejut donk! Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja, hal ini cukup serius! Karenanya aku meminta dia untuk bersabar sampai pada saat kami bertemu lagi. Kami sempat bersitekak di telepon. Akhirnya aku meminta waktu seminggu, dan kami sepakat. Aku bermaksud terlebih dahulu curhat dengan Kak Tori, sementara dia masih di Jakarta. Dia kakak kandungku. Menurut rencana, dia pulang minggu depan. Aku menceritakannya kepada Artha, dia sepandapat dengan ku.
***
Keesokan harinya, tengah hari bolong, telepon berdering lagi. Aku pikir dari siapa? Ternyata, Karel lagi, Karel lagi! Dia meminta dijawab sekarang juga. Karnanya sekali lagi, kami bersitekak. Kami cukup lama bersitekak, dan sekali lagi kami sepakat, ‘Dua hari lagi!’.
Hari Rabu, sekitar pukul tujuh malam, aku dan Artha sampai di rumah. Kami baru selesai mengikuti intensif. Kira-kira pukul delapan kurang, telepon berdering.
“Hallo, bisa bicara dengan Felsa?”, katanya.
“Ya, ini aku. Ada apa?”, balasku. Aku langsung dia Karel.
“Em…Felsa. Janji jangan marah yach?”, tanyanya.
“Emang ada apaan, seh?”, aku penasaran.
“Pokoknya, janji enggak bakalan marah, yach?”, desaknya.
“Aduh… payah banget seh! Ok deh, ok, ok!”, aku mengalah.
“Janji yach?”, Karel belum yakin.
“Ih ih… ya, ya, aku janji! Apaan seh?!”, aku mulai kesal.
“Em… (diam seben tar) Fel, sebenarnya, aku sudah punya pacar. Aku nembak Felsa, hanya maen-maen. Sorry yach?”, Karel merasa tak bersalah.
“Oh, gitu yach! Baguslah!”, aku ketus.
“Makanya, hari ini aku buru-buru nelepon Felsa. Felsa beneran nggak marah khan?”, Karel tak menyadari kemarahanku.
“Menurutmu?!”, aku mencoba santai.
“Lho! Tapi, tadi khan udah janji. Aku sengaja nelepon sekarang karena besok Felsa memberi jawabannya. Lagian, aku khan udah jujur. Seharusnya dihargai donk! Bukannya aku nggak mau ama Felsa. Aku nggak mungkin mutusin dia, Fel.”, Karel menyadari kemarahanku.
“Jadi, maksudmu?!”, aku mulai panas.
“Gimana kalo kita sahabatan aja?”, bujuk Karel.
“Enak kali kau buat yang hidup itu, yach! Oh yach, mana Misy?! Kok dia diam aja?!”, aku semakin panas.
“Itulah, dia juga marah ama aku? Dia nggak tahu apa-apa, maafin dia, yach?”, Karel mencoba menyelamatkan Misy.
“Enak kali dia! Kok kayak nggak bertanggung jawab gitu?! Dia anggap apa aku ini?! Kok dia belum nelepon?!”, aku juga menyalahkan Misy.
“Aduh Fel, dia takut.”, Karel lagi.
“Ngapain dia takut, kalo dia memang nggak salah!”, aku masih panas.
“Kayaknya, Felsa marah betul, nih. Udah dululah yach? Nanti ku telepon lagi.”, Karel menyadari emosi yang sudah memuncak.
***
Karel menelepon lagi, “Hallo Fel?”
Ada apa lagi?”, aku ketus.
“Aduh, masih marah yach?”, Karel santai.
“Suruh Si Misy nelepon aku! Kok maen lepas tangan gitu dia, hah?!”, perintahku.
“Khan, udah ku bialng, bukannya aku nggak mau ama Felsa…”, bujuk Karel.
“Ih….! Ngakui kau sebagai temanku aja, aku malu! Apa lagi jadi pacarmu! Baru juga kenal! Kau kira aku terobsesi kali sama mu?! Sorry aja yeah….! Walaupun pilihan cuma satu, tetap harus dipilih!”, potongku meruntuhkan kenarsisannya.
“Ok-lah, kalo gitu.”, Karel mengalah.

Aku langsung menelepon beberapa sahabatku; Sovi, Andre, Flo, Lita, dan Roto. Aku ceritakan semuanya ke mereka. Menurut Sovi, Flo, dan Roto aku jangan keburu menyalahkan Misy. Yang pasti bersalah adalah Karel. Agak berbeda dengan Lita, dia menyalahkan mereka berdua, sementara Andre biasa saja. Andre lumayan dekat dengan Misy , jadi aku memintanya menyelidiki Misy.
***
Seminggu telah berlalu.
Misy baru meneleponku. “Hallo Fel?”
“Kok baru nelepon?!”, tanya ku ketus.
“Felsa nggak marah khan?”, Misy merasa sudah aman.
“Maumu?! Lagi pula aku khan, udah mengingatkanmu sebelumnya. Tapi dasar kau yang badel! Akibatnya, aku yang jadi korban sekarang! Percuma saja kita sudah sobatan selama tiga tahun ini! Baru sekarang nampak aslimu! Tega kali kau sama aku, yach?”, ungkapku.
“Apa rupanya dibilangnya?”, Misy santai.
“Cobalah dulu kalian diskusikan berdua. Baru kau nelepon aku lagi.”, aku mulai muak.
“Aku bener nggak tahu. Dia itu, waktu nembak Felsa juga nembak cewek yang kos di rumahku.”, katanya.
“Udah?! Itu aja?!”, aku sudah malas.
“Aduh! Kayaknya Felsa serius marah nih? Udah dulu yach? Tapi Fel, aku benar-benar nggak tahu.”, Misy menyerah.
***
Karel masih juga nelepon aku! Padahal aku udah cape ngomong kasar. “Jadi sampe kapan nih marahnya?”, katanya.
“Sampai kapanpun!”, aku kesal.
“Sampai kapanpun?”, Karel meyakinkan.
“Iya!”, tegasku.
“Hanya marah khan? Berarti, kalo aku rindu masih bisa nelepon donk?”, Karel mencoba merayuku.
“Nengok mukamu, dengar suaramu, pokoknya aku nggak mau lagi!”, tegasku lagi.
“Sampai kapan?”, karel tak menyerah.
“Sampe kapanpun!”, aku ketus.
“E…satu minggu?”, tebaknya.
“Nggak!”, aku masih ketus.
“Satu bulan?”, tebaknya lagi.
“Nggak!”, balasku.
“Satu tahun?”, Karel memberikan penawaran terakhir.
“Nggak!”, jawabku.
“Jadi sampe kapan donk?”, Karel mati kamus.
“Sampe selama-lamanya!”, tegasku.
“Apa! Selama-lamanya?!”, Karel terkejut.
“Iya! Sampai selama-lamanya!”, tambahku.
“Walaupun hanya suaraku?”, Karel.
“Iya!”, kataku.
“Kalo gitu selamat tinggallah Fel?”, karel menyerah.
“Iya! Selamat tinggal!”, ulangku.
Ku pikir sekarang aku sudah bisa tenang. Dulu aku juga pernah hampir ja dian, tapi kejadiannya tidak seperti ini.
Beberapa hari berlalu. Rupanya, dia belum jera-jera! Dia tetap pada pendiriannya, kami bersitekak lagi. Tapi, jawabanku tetap sama ‘TIDAK!’. Dasar cowok aneh! Aku sempat takut, kalau-kalau hal ini akan sangat mempengaruhiku. Sebentar lagi aku akan mengikuti ujian.SPMB.
***
Akhirnya SPMB dapat ku lalui dengan baik. Paling tidak aku tidak mebiarkan lembar jawabanku banyak yang kosong. Papa sangat yakin, kalau aku akan lulus. Dia katakan ke orang-orang kalau aku akan lulus di Sastra Jepang. Saat ini aku hanya bisa berharap saja. Aku tidak berani meng-iya-kan atau berkomentar macam-macam.
 Saatnya pengumuman. Aku sangat bersyukur, ternyata aku lulus. Benar dugaan Pa pa, aku lulus di Sastra Jepang. Misy masuk ke sekolah asrama yang peraturannya ketat. Dia melanjut ke pendidikan Akademi Keperawatan. Sejak dia masuk asrama, kami sudah sangat jarang berkomunikasi.
Misy meminta ku datang ke rumahnya. Sebelumnya, dia mengadakan pesta perpisahan. Tapi, sungguh sangat disayangkan. Pada saat yang sama, aku mengikuti ospek. Misy sempat kecewa. Ku dengar, sedikit orang yang datang.
Awalnya aku agak sulit menerima Misy kembali menjadi temanku. Tapi, entah apa yang membuatku dapat menerimanya kembali menjadi temanku. perlahan-lahan hubungan persahabatan kamipun kembali pulih seperti semula.
***
Awal Bulan November, sebentar lagi Natal. Sebagai anak baru, aku ikut berpartisi pasi menjadi peserta paduan suara untuk Natal di kampus. Jumat malam, aku baru pulang dari latihan. Sedang asyik-asyiknya nyuci piring, aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang teman. Mungkin saja Roto yang datang, pikir ku.
“Lho!”, aku terkejut.
“Masih ingat aku?”, katanya.
“Masih-masih. Bentar-bentar, diam aja. Aduh siapa sih namamu? Aduh…siapa sih?!”, aku mencoba mengingat. Sebenarnya aku sudah ingat. Tapi berpura-pura masih lupa. Aku tidak ingin dia menjadi besar kepala.
“Karel. Ingat?”, potongnya.
“Ah, iya! Ingat, ingat.”, aku pura-pura baru ingat.
Dia bersama seorang temannya. Mereka naik sepeda motor. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya! Maunya sih ku usir. Tapi, hati nuraniku mengatakn tidak. Aku mepersilahkan mereka duduk di teras.
“Ngapain klen datang? Apakah ada angin barat berhembus dari timur? Ato angin timur berhembus dari barat?”, aku mencoba bersikap sopan. Mereka hanya tertawa.
“Karel rindu.”, teman Karel pelan tak meyakinkan. Karel tersipu malu.
“Oh, yach! Kenalin temanku.”, Karel mengambil alih.
Kami bersalaman. “Dean.”, katanya.
“Felsa.”, kataku. “(diam sebentar) Di sini ajalah yach? Malas. Lagi pula Papaku lagi ada tamu.”, sambungku.
“Ya udah, nggak papa.”, balas Dean.
“Eh, kalian nggak minum?”, tanyaku.
“Enggak usahlah. Tadi baru minum juga di rumah teman”, jawab Dean.
“Oh…ba guslah. Aku jadi nggak repot.”, aku pura-pura bersahabat. Selanjutnya aku hanya diam. Mereka juga.
“M…kalian dua ngomonglah.”, Karel memecahkan keheningan.
Akupun memulai obrolan. Sedang asyik ngobrol, bisa-bisanya Karel berdehem. Aku cuek aja. Karel pantang menyerah, lalu berkata, “Minumnyalah Fel.”
“Lho! Tadi katanya, baru dari rumah teman. Gimananya, suka-suka kalian aja! M… air putih aja yach? Gula kami habis. Lagian repot buat teh manis.”, aku mematahkan semangatnya.
“Nggak papalah.”, Karel.
Tak berapa lama, aku datang membawa tiga gelas air putih. “Ini nih, yang spesial buat Karel.”, Dean menggoda.
Aku hanya mencibirkan mulut ku. Aku mulai merasa muak! Kami melanjutkan obrolan. Tak berapa lama, aku teringat, katanyakan rumah Karel di Deli tua. Daerah yang tergolong jauh dari rumahku. Akupun berkata, “Eh, udah jam dela pan kurang nih. Kalian nggak pulang?”
“Ntar lagilah Fel.”, jawab Karel.
“Ya udah.”, aku tak kelihatan mengusir. Kami melanjutkan obrolan.
Kira-kira dua puluh menit kemudian, Karel bertanya, “Udah jam berapa Fel?”
“M…jam delapan lewat.”, jawabku.
“Kayaknya, kami udah bisa pulang nih?”, balasnya.
“Oh yach! Baguslah!”, aku lega.
Mereka langsung bergegas pulang. “Eh iya, Mamamu?”, tanay Karel.
“Aduh, Mama…(mengecek) Lagi ada tamu. Papaku aja mau?”, jawabku.
“Apa! Nggaklah. Kami langsung pulang ajalah yach?”, Karel ciut.
“Oh, iya ya. Cepatlah kalian pulang. Kalau begitu, selamat pulanglah yach?”, aku tak sabar.
Aku langsung masuk ke rumah, sementara mereka belum bener-bener pulang. Aku harap dari obrolan kami tadi, aku sudah mebuatnya jera. Kembali ku hubungi Sovi dan Roto. Ku ceritakan semuanya. Aku takut, kalau-kalau... Menurut mereka dia sudah ku buat jera. Aku benar-benar nggak tahu lagi harus ba gaimana. Dasar, cowok aneh sialan! Maksudnya apa sich?!

Oleh: Santyta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar