Senin, 12 Agustus 2013

Batas Penantian


“Duh…anak mama seneng banget kelihatannya!”, Mama ke Prisi yang baru pulang.
“Iya donk Ma, namanya juga anak Mama, baru ngedate!”, Prisi semangat.
“Udah lama banget Mama nggak liat Prisi segembira ini? Mama seperti melihat anak Mama lahir kembali!”, balas Mama.
“Kalo aku lahir kembali, siapa donk Mamanya?”, tanya Prisi.
“Maksud kamu?”, Mama bingung.
“Mama kok tidak seperti wanita yang baru melahirkan?”, jelas Prisi.
“Hm…m… Mama pikir apaan!”, Mama lega.
***
Prisi adalah seorang mahasiswa Teknik, jurusan Arsitektur.
“Uh…! Akhirnya selesai juga!”, Prisi lega, perkuliahan selesai.
“Eh, Fico! Kirain nggak jadi.”, Prisi terkejut melihat Fico yang tiba-tiba menghampiri. “Oh yach, aku mo ngerjain tugas nih, tapi mo makan dulu.”, sambungnya.
“Oh yach udah, yuk!”, ajak Fico… “Lho, makan siang khan? Kok nggak pesan nasi?”, Fico heran.
“Ini menu khususku kalo lagi jalan. Aku udah biasa kok!”, balas Prisi.
“Oh…ya udah.”, tutup Fico.
Mereka asyik makan berdua. Prisi asyik mengutak-atik ponsel Fico. Tiba-tiba dia terdiam. Dia marah. Fico hanya cuek, dia sadar akan kemarahan Prisi.
“Oh yach, aku ntar lagi mo cabut. Ada urusan… (santai)”, Fico mencoba mengalihkan. “Nggak papa kok, kalo kamu nggak bisa, aku nggak maksa. Lagi pula aku bisa sendiri kok. Aku ngerti…?”, sambungnya.
Prisi masam, terdiam…

“Gimana Pris, menurut Adek ada yang cocok?”, tanya Venan.
“Em...gini aja deh! Ada nggak yang lagi dicari Tita? Ato dia lagi butuh apa gitu?”, Prisi balik nanya.
“Aduh!”, Venan memukul keningnya.
“Gimana kalo Abang temenin Prisi ke toko kaset dulu sambil jalan diingat-ingat. Siapa tahu teringat. Kalo nggak ingat juga, kita beli boneka. Ya?”, tawar Prisi.
“Ide bagus!”, Venan semangat.
Venan memutar otak berusaha mengingatnya.
”Abang nggak ada kaset yang mo dibeli?”, tanya Prisi. Mereka sudah tiba di toko kaset.
“Apa? Coba ulangi!”, pinta Venan.
“Abang nggak nyari kaset?”, ulang Prisi.
“Ah, yach! Itu rupanya!”, Venan semangat.
“Apaan? Udah ingat?”, Prisi bingung.
“Iya, Abang janji membelikan Tita novel misteri.”,  jelasnya.
“Ya udah! Entar yach?”, akhirnya Prisi mengerti.
.....
“Em...ini!...makasih.”, Venan tersenyum kepada penjaga toko.
“Sini biar Adek aja yang bungkus!”, tawar Prisi.

Prisi tersenyum cerah. “Oh yach, tugasku bisa kok ntar-ntar!”, katanya.
“Nggak usah Pris! Kamu kerjakan aja tugasmu dengan tenang.”, pinta Fico. Prisi masam kembali.
“Ya, udah, gini aja kalo kamu memang pengen. Hari ini konsentrasi ke tugasmu, besok baru kamu bantu aku. Gimana?”, tawar Fico. Prisi mengangguk semangat.
Tert…tert… ponsel Fico berdering “Ya, apa Ma? Em…nggak bisa ntar lagi Ma? Ntar…aja? Ya…ya? Apa sekarang juga?! Ya udah dech.” Fico menutup teleponnya. Merekapun berpisah.
***
‘Aku ke basecamp ah!’, batin Prisi. ‘Biasanya, kalo aku lagi ada tugas kayak gini, dulu dia….’, batinnya lagi.

“Bang, e....”, tegur Prisi.
“Kenapa? Desain rumah itu?”, tanya Venan.  
“Ah, iya! Ada Bang?”,Prisi ragu.
“Kok lama banget baru nanya? Mungkin...”, sambung Venan.
“Ya udah dech, pasti.... Dasar aku ini memang payah.”, potong Prisi.
“Siapa bilang? Makanya jangan suka motong. Percuma dong, kayak gitu aja Abang nggak bisa. Angkatan kami kemaren juga dikasih. Sebenarnya udah banyak yang minta...”, sambung Venan.
“Sekarang aja dech Bang!”, Prisa semangngat.
“Ayo!”, ajak Venan.
“Lho, kok sendiri? Mana Fico?”, Alex mengejutkan Prisi.
“Oh! Dia pergi ma Nyokapnya.”, jawab Prisi.
“Tumben ke mari?”, Alex heran.
“Iya, aku lagi suntuk. Tadinya aku mau mengerjakan tugas.”, jawab Prisi lagi.
“Jadi, tugasnya dah kelar?”, Alex ingin tahu.
“Belum sich, lagi buntu nich! Kali-kali aja dapat ilham di sini.”, balas Prisi. Prisi memandangi basecamp keliling.

Lagi-lagi Prisi melamun. “Ha...ha...ha...”, tawanya.
“Ada apa kok ketawa?”, Alex bingung.
“Enggak...”, Prisi masih tertawa.
“Hallo semua!”, sapa Prisi. Alex hanya nyengir. “Eh, ngapain dia!? Sok nyengir lagi!”, Prisi kesel.
“Op, tenang-tenang bos! Dia anggota baru BG!”, Jelas Kiran.
“Cresya?”, Prisi tidak terima.
“Putus!”, Alex santai.
“Ku pikir Aldi yang dulu udah benar-benar mati! (dulu Aldi bergabung ketika dia baru putus dengan pacarnya. Awalnya, dia gabung untuk pdkt dengan Prisi) Memang patah tumbuh, hilang berganti”, Prisi ketus.
“Eit, aku sama Aldi jelas beda!”, Alex masih santai.
“A…”, Prisi hendak membalas Alex.
“Udah-udah! Kok  jadi berantem. Bang Alex benar kami itu jelas beda! Yakin ko aku yang dulu udah mati?!”, potong Aldi.
“A…”, Prisi hendak membalas Aldi.
“Nggak kok be-can-da. ”, potong Aldi lagi. Prisi lega.

“Iya! Kalo diingat lucu juga. Mana kamu pake sentimen lagi ke aku.”, Alex ikut mengenang.
“Iya, ya. Abis waktu itu aku khan...”, Prisi malu.
“Sudah, sudah! Nggak usah dibahas!”, tutup Alex.
Teringatnya kita nggak pernah kumpul lagi yach? Ato aku aja yang…?”, Prisi membuka topik baru.
“Kalo dipikir-pikir, kamu benar juga. Aku hampir tiap hari ke mari, tapi aku ng gak pernah liat kalian satupun!”, jelas Alex.
“Masa! Satupun?! Kiran?!”, Prisi terkejut.
“Aku juga kurang tahu sich. Tapi kemaren aku ke rumahnya, kayaknya nyokap nya kurang sehat tuch. Kamu sendiri? Kaliankan se kelas?”, tanya Alex.
“Bukan apa-apa, belakangan ini Kiran cepat banget menghilang. Begitu selesai kuliah dia langsung menghilang. Ku pikir dia ke basecamp. Kamu khan tahu, dulu ha ri-hariku…”, jelas Prisi.
“Nggak! Nggak pernah! Nggak coba tanya?”, Alex heran.
“Udah! Awalnya dia bilang nggak papa. Tapi setelah sedikit ku desak, dia hanya bilang gara-gara kasusnya yang kemaren hampir DO itu!”, jelas Prisi lagi.
“Oh yach! Fico?”, Alex lagi.
“Ah, payah! Masa, adiknya ulang tahun dia nggak ngomong. Padahal dulu khan…Cara jalannya dia ama aku sih dah pas!”, kenang Prisi.
“Maksudmu, suasana yang terasa setiap kali jalan?”, Alex.
“Hm…m. Walaupun sedikit maksa sih…”, Pris menegaskan.
“Tapi, menurutku dia orangnya baik. Ya, kamu patut bersyukur mendapatkan la ki-laki seperti dia.”, balas Alex.
“Eh, udah dulu yach, aku mo balik. Kayaknya si ilham...” Prisi semangat dan berlalu
Alex masih bingung. “Si ilham dah datang?”, gumamnya sendiri memandang se keliling.
***
“Ma kasih Bang?”, Mano berkata, dia menerima contoh proposal dari seniornya.
“Masih ada kuliah?”, tanya si senior.
“Nggak Bang. Kenapa Bang?”, balas Mano.
“Eng…ada perlu ama Prisi.”, jawab si senior.
“Eh, tuh dia orangnya! Pajang umur ya, baru juga?!”, kata Mano. “Tinggal dulu ya Bang!?”, Mano pamit.
“Buku yang ini khan Lex?”, tanya Prisi kepada si senior yang ternyata Alex. Dia  hanya mengangguk.
“Di! Ren!”, panggil Alex.
“Apaan Bang?”, tanya Aldi.
“Eh, kebetulan kalian semua di sini, ke rumah ku yuk?”, ajak Alex. Kiran kebetu lan lewat dan Alex mendapati tangannya…
Mama Alex menerima mereka semua dengan hangat. Alex memperkenalkan me reka semua. Mama Alex melihat Pri si heran...
“Eh Kiran, gimana kabar mamamu?”, tanya Mama Alex.
“Ya gitu deh tante. Suka lemes-lemes. Malah sekarang, kalo kecapean si Mama suka pingsan.”, jawab Kiran.
“Tante suka mawar yach?”, tanya Prisi.
“Iya!”, jawab Mama Alex.
“Wah! Kalo gitu kita sama dunk, Tan?! Aku juga suka mawar! Suka banget!”, Prisi semangat.
“Wah…! Prisi mirip banget seperti tante waktu muda…”, Mama Alex terkejut & senang.
“Iya Tante!...”, balas Prisi. Merekapun asyik ngobrolin mawar.
“Andai anak itu selamat, pasti dia sudah sebesar kamu. Dan kalian...”, Mama A lex tiba-tiba. Dia mulai mengingat anak perempuannya. Dia menceritakannya. Dia sa ngat menginginkan anak perempuan. Tapi sayang… Dia hanya memiliki dua orang a nak laki-laki.
“Udahlah, Tan. N’tar khan kalo anak Tante nikah, Tante tidak hanya punya satu anak perempuan. Bahkan dua!”, hibur Prisi.
“Iya, yah! Apalagi kalo kamu orangnya. Tante sungguh sangat tidak keberat an!”, Mama Alex semangat.
***
Seperti biasa, Prisi dan keluarga makan malam bersama.
“Pa, temen ku ada jual Hp murah lho!”, Prisi semangat.
“Murahnya seberapa?”, Papa santai.
“Em… satu juta!”, Prisi masih semangat.
“Apa?! Segitu kamu bilang murah!”, Papa terkejut.
“Ya, wajarlah Pa. Hpnya khan…” Prisi meyakinkna.
“Sama Papa tuh, yang murah yah di bawah di bawah lima ratus!”, potong Sela, Kakak Prisi (si sulung).
“Yah… kalo yang segitu mah, Hp yang nggak ada apa-apa nya!”, Prisi lemas.
“Em…”, Papa mengangguk.
“Prisi janji, nggak bakalan teledor lagi.”, Prisi meyakinkan. Ponselnya yang du lu lumayan canggih. Tapi, karena kebiasaan buruknya, selalu membawa Hp ke kamar mandi. Hp itu terjatuh dari tangannya di kamar mandi dan hancur berke ping-keping.
“Emang Prisi nggak mau Hp yang nggak setara dengan punyamu kemaren?...”, tanya Papa.
“Nggak!”, tegas Prisi.
“Ya udah, nggak usah punya Hp!”, Papa tertawa kecil.
Badi langsung meledak tertawa.
“Badi…!”, tegur Mama, sedikit berbisik.

“Ma, mau ya, bantu Prisi?”, pinta Prisi.
“Prisi, khan Papa...”, Mama mencoba mengingatkan Prisi.
“Iya! Tapi, Prisi maunya…!”, potong Pris.
“Aduh, Prisi anakku sayang. Kamu nggak usah aduh keras ke pala gitu sama Pa pamu. Kalian itu sama keras kepalanya. Lagi pula… Mama juga sependapat dengan Papa…”, sambung Mama.
“Uh! Mama payah”, Pris kesal.
Mama tersenyum melihat Prisi yang langsung pergi ke kamarnya. Tak lama Pri si keluar. “Mana Badi Ma!?”, Prisi agak kesal.
“Tuch!”, Mama santai.
Prisi menghampirinya lalu mengendus. “Tuc khan! Kamu kok bandel banget sih? Parfum kakak kok dipake lagi! Kalo memang suka, khan bisa beli! Usah pake pu nya orang!”, Prisi makin kesal.
“Itu khan parfum cowok Kak? Badi pikir... Nggak biasanya?”, Badi mebela diri.
“Mau ku pake kek, mau nggak kek, urusanku! Punyaku juga! Jangan asal ma ke!”, balas Prisi. Dia langsung balik lagi ke kamar.
“Badi, sini!”, panggil Mama.
…“Badi pikir nggak mungkin khan kakak…? Kalo Mama nggak percaya sini, li hat…”, Badi masih membela diri.
“Kalo memang nggak dipake, ato kalo si kakak memang nggak perlu pasti dia langsung kasih ke kamu. Ato kalau kamu memang pengen khan bisa ngomong dulu. Jangan main serobot kayak gitu.”, potong Mama.
“Iya dech, Badi yang salah.”, Badi mengaku salah.
“Kayaknya si Kakak mulai nggak tahan hidup tanpa Hp…”, Mama lembut.
“Iya sih… Oh yach, tapi kalo dapat ya Ma! Nggak papa kalo …”, Badi setuju.
“Khan Mama nggak bilang harus dapat. Yang penting, cari dulu. Masalah dapat ato nggaknya, belakangan. Ayo gih …”, potong Mama lagi.
***
“Kamu kok susah banget sich panggil aku ‘sayang’?”, keluh Prisi.
“Aduh Pris, kamu khan kamu tahu aku sayang kamu. Aku rasa aku nggak perlu lagi panggil kamu ‘sayang’. Maaf, menurutku itu norak…”, jawab Fico.
“Aku khan nggak rela kamu…”, Prisi nggak terima. “Sekarang, ayo kita cari ka do untuk adikmu. Ini khan, urusan yang kamu bilang ke marin?”, Prisi mengalah.
“Udah kok, semalam! Nggak usah…”, belum sempat Fico selesai ngomong, ti ba-tiba...
“Gimana Fic yang semalam? Dah kamu kasih?”, kata seorang cewek yang meng hampiri mereka.
Fico mengangguk, lalu berkata, “Makasih ya?”. Sebelum cewek itu berlalu di sempatkannya menyapa Prisi.
Melihat itu, Prisi sangat marah. Fico menyadari hal ini, dia hanya diam. “Mak sud kamu apa sich?!”, Prisi menahan emosi.
“A, aduh! Pris, aku nggak bermaksud apa-apa. Cewek tadi, itu anaknya temen Mama ku. Kami dah temenan sejak kecil. Namanya Felsa.”, Fico gugup.
“Ngapain kalian semalam?!”, selidik Prisi.
“Semalam aku minta tolong nemenin. Tadinya mo sama Mama sekalian belanja. Tapi, Mama mo cepat pulang. Kebetulan jumpa di jalan. Ya, udah…”, jelas Fico.
“Kamu khan, bisa telepon aku! Aku khan di rumah! Nggak mesti ngajak dia, wa laupun kebetulan jumpa!”, Prisi masih kesal.
“Aku hanya ingin nggak ngganggu. Aku pikir…”, tambah Fico.
“Udah deh! Aku dah cape ngadepin kamu terus! Kamu, memang orang yang pa yah!”, bantah Prisi.
“Pris, kamu nggak boleh gitu donk? Aku khan dah jelasin semuanya! Kok masih marah? Pake bilang aku payah lagi! Mau kamu apa sih? Apa perlu, aku panggil tuch cewek beserta nyokapku ke mari, buat jelasin semuanya?! Udah deh, terserah kamu!”, balas Fico. “Oh yach, ku tinggal dulu, aku masih ada urusan!”, Fico pamit. Belum sempat dia meninggalkan Prisi, Prisi mendahuluinya.
***
‘Sudah lama sekali rasanya aku nggak ke mari’, batin Prisi yang sedang berdiri di depan pintu masuk sebuah toko buku. Dia langsung menuju ke lantai dua toko itu. Melihat komik-komik tersu sun rapi di rak, mata Prisi berbinar-binar. Seolah-olah yang di hada pannya sekarang adalah sekumpulan mutiara indah yang memantul kan sinar. Matanya begitu silau.Dia menyambar komik laga ‘legenda naga’. Dengan sege ra dia memeluknya. Caranya memeluk, seolah memeluk orang yang sangat dirindu kan. Belum puas dia melepas rindu, seseorang menghampirinya
“Hey!”, katanya.
Prisipun tersentak. “Eh”, katanya sambil refleks menengadah memastikan siapa yang menghampiri. Rupanya dia Alex. Dia terke jut sekali. Dia gugup, malu ketahuan sedang memegang komik. Tapi, rasa malunya langsung hilang juga terkejut melihat A lex yang juga memegang komik yang sama dengannya.

“Jadi dibeli?”, tanya Alex.
“Hm …m kamu?”, Prisi menunjuk ke tangan Alex yang juga memegang komik.
Alex mengangguk. “Langsung pulang?”, tanya Alex.
“Pengennya sih nggak…”, Prisi.
“Jadi mo ke mana?”, tanya Alex
“Tahu!”, jawab Prisi.
“Basecamp yuk? Aku bawa motor lho!”, ajak Alex.
“Hm…m…”, Prisi setuju.

Di Basecamp.
“Kamu lagi berantem ma Fico, ya?”, tanya Alex. Prisi meng angguk lemas. “E mang masalahnya apa? Kayaknya berat…?”, seli dik Alex.
Prisi pun memulai ceritanya. Prisi terlihat buruk sekali. Alex mencoba mengalih kan suasana. “Dah lama suka komik?”, katanya.
“Iya! Tapi, setelah sekian lama, ini pertama kalinya aku beli la gi!”, jawab Prisi.
“Oh yach? Aku juga! Ya, setelah putus dari Cresya! Nggak nyangka, cewek ka yak kamu bisa suka Legenda naga!”, balas Alex.
“Komik yang pertama kali ku baca Kungfu boy. Itu pun punya kakakku.”, kata Prisi.
Tampaknya Alex berhasil. “Oh yach!? Aku juga! Kamu nggak suka baca serial cantik atau misteri gitu?”, tanyanya.
“Suka!”, Prisi semangat. “Teringatnya Legenda naga dah jilid berapa? Aku dah lama banget nggak ngikutin.”, sambungnya.
“M…kira-kira dah  40-an gitu.”, jawab Alex.
“Waks!”, Prisi terkejut. “Aku dah tertinggal jauh nih…! Gima na yach?”,Prisi le mas.
“Em… Punyaku nggak lengkap-lengkap kali. Tapi, tunggu kita masih bisa ke mari untuk melihat koleksi yang tidak ku punya. Gima na?”. Tawar Alex
“Boleh, boleh!”, Prisi semangat lagi.
“Teringatnya Fico. Yang itu, menurutku nggak sepenuhnya dia salah. Aku ha rap, kamu tidak emosi.”, Alex balik ke topik semula.
“Hm…(menghela nafas) kayaknya kamu ada benarnya. Ok dech!”, Prisi terse nyum.
***
Setibanya di rumah Prisi dikejutkan dengan katalog yang terle tak di meja bela jarnya. Prisi mendapati Papanya. “Pa, nih ada Hp di bawah 500. (menunjukkan kata log Hp)”, Prisi ke Papa.
“Emang kamu mau?”, Papa ragu.
“Ya, iyalah! Yang penting bisa pake lagi!”, Prisi semangat.
“Yakin? Hp begituan mana ada MP3, kamera, dan fasilitas lain nya. Pokoknya nggak ada….”, Papa masih ragu.
“Duh Papa, nggak usah sok ngeles dech! Papa sendiri yang bi lang kalo di ba wah 500 boleh! Nih dah ada!”, Prisi meyakinkan.
… “Ayo, ayo semua makan!”, ajak Ibu menghampiri semau yang sedang asyik nonton. Semua menurut.

“Teringatnya, katalog ini kok bisa ada di kamarku yach?”, ta nya Prisi.
“Itu aku. Itu...”, jawab Badi.
“Ma kasih ya Badi.”, Prisi tersenyum.
“Oh yach, kita pergi lihatnya hari sabtu yach?”, tawar Papa.
“Ok dech, Pa! Papa nggak usah khawatir, Prisi sabar kok nung gu ampe minggu depan. Yang penting Papa dah janji. Lagi pula di si tu Prisi libur”, Prisi semangat.
***
Berkat saran Alex, hubungan Prisi dan Fico berlanjut. Dia men cari tahu tentang Kiran. Dia penasaran. Ada apa sebenarnya? “Udah dech, kamu nggak usah sok perha tian gitu. Ku bilang nggak papa, ya nggak papa! Tuch, Fico!”, Kiran berkata.
Prisi bingung. Akhirnya dia berkata, “Ok, aku ngerti. Mungkin sekarang kamu belum mau cerita. Ku tinggal dulu yach?”
“Ini semau temen-temenmu?”, tanya Prisi.
“Iya. Tuch, masih banyak lagi.”, jawab Fico.
“Lho! Kok…? Malah poto cewek lain yang ada! Padahal khan kita dah lama. Masa, hal beginian kamu nggak tanggap sich?...”, Prisi mulai tak bersemangat.
“Aduh neng, bukannya aku yang nggak tanggap. Coba dech, ka mu ingat-ingat setiap kita jalan, kamu selalu mainin Hp-ku, dengar MP3. Sankin seringnya kamu ma inin Hp-ku, Kamu nyaris-nyaris lu pa kalo kita lagi berdua.”, jelas Fico.
“Ya udah! Nah, poto aku sekarang!”, Perintah Prisi.
“Oh yach, sebelum kelupaan, catatat nomorku! Ntar kalo udah punya langsung sms aku, yach?”, pinta Fico.
***
“Eh, anak Mama dah pulang? Kok lesu?”, tegur Mama.
“Nggak papa Ma, Prisi hanya kecapean.”, Prisi lemas.
“Oh, ya udah. Yang penting anak mama nggap kenapa-napa khan?”, Mama me mastikan.
“Iya Ma!”, tegas Prisi. Gimana sih Mama, masa nggak percaya sama anak sendi ri?”, Tanya Prisi balik.
“Oh yach, malam ini kita ngundang Pak Fritz dan keluarga!”, kata Mama.
“Oh yach? Pak Fritz tetangga kita waktu di Padang khan Ma?”, tanya Prisi. Ma ma mengangguk. “Wah, gimana yach, tampang Bang Lilo dan abangnya Bang Videl, sekarang? Aku jadi nggak sabar! Eh, em…. Udah ya Ma, Prisi istrahat dulu. Biar ntar ikutan makan ma lam!”, Prisi semangat.

Ternyata Lilo tak lain adalah Alex yang selama ini dia kenalnya. Namanya Alexandrorio. Waktu Prisi kecil dia celat. Dia suka bigung, lalu dia memanggil Alex dengan Lilo. Kedegarannya sedikit ti dak nyambung memang. Tapi, begitulah Prisi memanggilnya.
“Ngomong-ngomong, dari mana jalannya Mama bisa ngun dang Om Fritz? Khan …? ”, tanya Prisi.
“Kemaren, Lilo khan pernah datang ke mari. Yang itu lho yang dia ngantar ko mik itu?”, jawab Mama.
“Kok…?”, Prisi hendak bertanya.
“Waktu itu kamu pulang malem. Tadinya kita mau nanya. Ta pi, kelihatannya ka mu capek, jadi diurungkan deh. Truz, kelupaan.” potong Sela, si sulung.
“Ya, ampun! Kok bisa yach? Padahal kita khan dah kenal la ma! Udah setahun lebih bahkan! Prisi juga udah pernah ke rumah, ya khan!”, balas Prisi.
“Makanya, Papa sengaja mengundang Om Fritz. Agar, nggak begitu lagi kejadi annya.”, Papa berkata.
“Pantes, muka Prisi begitu familiar. Rupanya…”, kisah Bu Fritz. “Nggak terasa yach, anak-anak kita udah sebesar ini! Melihat Prisi sekarang, seperti melihat diri sen diri. Zaman kuliah du lu!”, sambung Bu Fritz. Anak-anak mereka tersipu malu.
***
“Huh, dasar Aldi dan Rena payah! Itu tuh, kalo lagi kasmaran! Nggak usah di ganggu ah! Eh, itu Kiran!”, batin Prisi. Dia hendak menghampirinya.
“Eis, Hp baru yach?”, sapa seorang teman.
Prisi hanya tertunduk malu. Tapi, setelah menengadah... “Huh!”, keluh Prisi. ‘Eh, mana lagi nomor si Fico!’, batin Prisi sam bil kerasak-krusuk.
“Kenapa, Pris?”, sapa seorang teman yang kebetulan lewat.
“Eh, Alex!”, Prisi terkejut. Ternyata dia Alex.
“Baru yo!”, sambungnya. Prisi dari tadi terus menggenggam Hp barunya. “Lang sung pulang?”, tanya Alex. Prisi menggeleng sam bil menunjukkan gulungan kertas. “Tugas lagi?”, Alex lagi.
“Nggak juga sich? Hanya saja aku disuruh merefisi. Tapi aku nggak tahu lagi mo diapain. Belum lagi ada tugas baru nich!”
 “Eh, ku tinggal dulu ya? Ada yang mo diurus.”, sambungnya.
“Oh!...eh, tunggu! Barengan yuk? Aku juga mo ke luar!”, Prisi berkata.
***
“Aduh… Cape! Mana belum dapat semua lagi!? Da laper!...”, batin Prisi.
“Kayaknya aku dah mulai bosen nich, say!”, keluh seorang cewek.
 Tak sengaja pembicaraan itu terdengar Prisi. “Ih, norak banget sich! Bilang-bi lang sayang segala! Untung aja pacarnya bukan Fico!”, batin Prisi. Sumber suara bera sal dari rumah makan sebelah. Prisi berada di sejenis pasar yang ada di lingkungan kampusnya. Di situ didapati sederetan tempat makan yang dipisahkan oleh sekat-sekat saja. Prisi dapat melihat siapa yang berbicara bila dia berdiri. Sekat itu tidak begitu tinggi. Mau tak mau Prisi mendengarnya. Di situ juga ada stand menjual alat-alat tu lis, baju, tas, dan lain-lain.
“Maksud kamu bosen gimana say?”, balas cowok.
“Eh, suaranya kayak suara Fico? Aduh! Gimana sih, aku kok jadi mikir yang ng gak-nggak! Apa karena lapar ya?”, batin Prisi lagi, semakin konsentransi mendengar.
“Memangnya kamu masih sayang sama pacarmu itu?”, cewek.
“Oh… lagu Astrid nich ceritanya. Jadikan aku yang ke dua… (dinyanyikan)”, ba tin Prisi.
“Ah!”, Prisi dikejut dengan kedatangan pesanannya. Konsentra sinya terbagi. Di a menikmati makanan sambil...
“Gimana ya, aku juga nggak tahu gimana perasaanku seka rang…”, cowok.
“Aku ngerti posisi kamu sekarang. Tapi, maafkan aku. Kali ini aku udah nggak tahan lagi…”, cewek.
“Shuuut shuuut. Aku ngerti.” , cowok.
“Aku hanya menuntut kejelasan dari kamu! Kita nggak mung kin terus-terusan begini. Atau kamu memang…”, cewek.
“Cukup! Aku hanya mencari saat yang tepat buat mutusin dia. A ku minta Felsa bersabar sedikit lagi. Gimana?”, cowok.
“Sudah ada yang tahu kondisi kita. Mereka mulai memfonis a ku ‘perebut pacar orang’! Aku sungguh tidak nyaman…?”, cewek.
“Siapa yang bilang begitu?! Kamu nggak merebut aku dari sia papun! Ok!...”, potong si cowok mulai emosi.
“Sabar sayang. Aku nggak bermaksud memaksamu. Aku tahu seorang Fico ha nya milikku!...”, si cewek menenangkan.
Prisi terkejut lagi. Dia tersedat. Spontan Prisi berdiri memasti kan dugaannya. Ternyata... Secepatnya Prisi membayar bilnya. Dia menghampiri pasangan itu.
“Prisi?!”, kali ini Fico yang terkejut.
“Bagus! Aku nggak ngerti maksud kamu dengan semua ini. Ternyata bukan ha nya nona ini yang nggak tahan! Aku juga mulai nggak tahan! Gayanya anak temen Mamalah! Temen sejak kecil apanya? Ntah kenapa aku begitu aja percaya! Hari gini, teman masa kecil?! Kamu itu benar-benar kebanyakan baca komik apa?! Kita pu tus!”, Prisi emosi lalu pergi.
“Pris, Tunggu! Dengerin aku dulu!”, Fico menahan tangan Prisi.
“Fico! Aku jadi ikut-ikutan nggak ngerti! Maksud kamu apa sich? Baik aku yang pergi! Kalain urus urusan kalian!”, Felsa kesal dan berlalu.
“Apa lagi? Maumu kita putus khan?! Nich?! Sekarang, silahkan nikmati sa yang-sayanganmu dengan si Felsa tadi?!”, Prisi masih emosi.
“Maafkan aku Pris. (Prisi berusaha melepaskan pegangan Fico. Tapi, pegangan i tu terlalu kuat) Jujur aku katakan selama kita berpa caran, aku merasa aneh. Aku mera sa kau... Kamu nggak pernah me mandang ku sebagai seorang Fico, tapi... Awalnya, ti dak terlintas sedikitpun dalam pikiranku untuk selingkuh…”, Fico berkata.
“Udah siap ngomongnya?”, potong Prisi. Fico hanya diam. “Ma kasih ya! Permi si!”, sambungnya.
***
“Aku bener-bener nggak habis pikir! Padahal aku sudah berha rap banyak sama Fico!”, keluh Prisi.
“Aku tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Melihat latar bela kang kalian jadi an, aku kurang yakin. Dengan kejadian ini tampaknya Fico... Aku juga… Tidak hanya kesan buruk yang ditinggalkan nya. Perlu kamu ingat, karena dia kamu bisa melupa kan masalahmu, walaupun sebenarnya… Paling tidak, kau dapat kembali ceria. Sebe lum kalian jadian, kau terlihat buruk sekali. Aku sampai khawatir ja ngan-jangan kau depresi. Ternyata… syukurlah. Sudahlah, nasi su dah jadi bubur. Kalau sudah basi, ya dibuang saja! Jangan dipaksa makan. Adanya sakit perut. Hanya akan menambah luka di hati.”, hi bur Alex…“Jadi…, em… Pris aku suka kamu?”, sambungnya.
“Em… maaf Lex…”, Prisi terkejut.
“Nggak papa kok. Aku nggak minta kamu jawab sekarang. A ku ngerti perasaan mu sekarang ini. Maaf kalo dengan begini hanya menambah masalahmu. Aku nggak tahan melihat kamu seperti ini te rus.”, kata Alex lagi.
“Maaf Lex. Sekarang ini aku hanya bisa mengatakan itu.”, Pri si menegaskan.
“Ya udah! Tapi, kita tetap berteman khan?”, balas Alex.
“Ya iyalah Lex! Nggak mungkin khan hanya gar-gara ini...”, Prisi meyakinkan.
“Aduh, Pris sori banget ya?”, sapa Rena yang baru datang bersama Rinaldi pa carnya. “Aku nggak tahu bakal begini jadinya. Kalo tahu gini nggak bakalan deh! Me mang sich, setelah kalian jadian aku udah jarang ngobrol ma sepupuku itu. Ku pi kir dia udah bisa di percaya. Aduh…jadi nggak enak. Sekali lagi sori ya?”, sambungnya.
“Ya udahlah Ren! Untuk sekarang itu jangan dabahas dulu.” Jawab Prisi. “Tapi, btw udah lama kita nggak kontakan. Kamu tahu gi mana kabar Kiran?”, tanya Prisi.
“Iya juga yach? Em…Memang seh belakangan Kiran ku perhatikan... Kamu dah coba tanya ke dia?”, Balas Rena.
“Udah! Tapi, reaksinya nggak bersahabat banget.”, jawab Prisi. “Susah juga sih?”, tambahnya.
“Jadi sekarang kamu lagi kososng nich?!”, tanya Aldi. Dua pasang mata mena tapnya tajam. “Rena cayang, maaf deh. Aku bener-bener nggak ada niat lagi. Lagipula kemarenkan kami dah pernah dekat. Tapi itu untuk jadian ma kamu. Kalo memang a ku masih niat, ngapain kita yang jadian, Rena ku cayang.”, Aldi mebujuk. Renapun tersenyum. “Eh, kalo dipikir-pikir kelompok kita ini aneh ya,?”, sambung Aldi.
“Apanya yang aneh?”, tanya Alex penasaran.
***
Prisi, Kiran, dan Rena datang bersama. Aldi terkejut melihat Rena dan Kiran beserta Prisi. Merekapun mengambil tempat, dan langsung memesan makanan. Aldi kelihatan gugup.
“Tenang, BMM kok!”, kata Prisi.
“E, gini…”, Aldi mencoba menyampaikan maksudnya.
“Aku ngerti kok.”, potong Prisi.
“Ok, menunggu pesanan, langsung aja. Gimana kamu masih ngarep khan?”, Al di berkata. Aldi temen satu SMA Prisi. waktu itu, Prisi menyukainya, bahkan dia sem pat beberapa kali pdkt. Tapi, Aldi terus menolak. Akhirnya, Prisi menyerah. Dia sung guh-sung guh tidak mengharapkan Aldi lagi. Saat itu, aldi baru putus.
“Aduh gimana sih? Khan udah ku bilang, aku tuh nggak ngarepin kamu lagi! Se kalipun, kau yang datang!”, Prisi mengulangi apa yang sudah pernah dia katakan.
“Ok, ok. E…”, Aldi mencoba lagi.
“Tunggu! Kalo kamu singgung itu lagi, aku pergi.”, Prisi bergegas.
“Op, sabar!”, Aldi mundur sejenak.  Mereka terdiam. Akhirnya pesanan da tang. Aldi masih bersikeras.
“Ok, dari pada sia-sia, gini aja. Aku hanya bisa menawarkan persahabatan! Gi mana?”, tawar Prisi.
Aldi tak langsung menjawab. Dia sadar tampaknya keputusan Prisi sudah bulat, tidak bisa diganggu-gugat lagi. “Ok, aku setuju! Tapi…”, Jawab Aldi.
“A…”, prisi hendak memotong.
“Aku jadi anggota kalian!”, sambungnya.
Prisi memutar otaknya. “Dasar! Nggak mau kalah! Ya, u dah!”, Pris menyerah.
“Hore!!!”, Aldi bersorak.
“Tapi ingat aku…”, Prisi mencoba menegaskan.
“Ya, ya! Kalo soal itu aku nyerah.”, potong Aldi.
“Oh, ya aku ada kabar baik nih! Tapi…(melirik Aldi)”, Prisi hendak menyam paikan sesuatu.
“Kenapa aku khan anggota kalian juga!”, Aldi mengingatkan. Prisi tetap mem bungkam.
“Aduh gimana sih, tadi khan sudah ada kata SAHABAT!?”, Rena berkata.
“Ok deh,… Bang Venan dapat panggilan!”, lanjut Prisi.
“Bagaimana kalau kita mempersiapkan acara buatnya?”, Aldi semangat.
“Tapi, katanya belum pasti!!”, Prisi menambahkan.
“Oh ya?”, sambung Kiran.
“Aku ada ide!”, Tawar Aldi.
“Apaan?”, tanya Rena.
“Bagaimana kalau kita beri nama kelompok kita dengan Boy and Girls dising kat BG?”, Aldi tetap semangat.
“Tunggu! Kalau kamu masuk ke lompok kami berarti bang Venan juga donk? Jadi bukan Aldi sendiri yang boy. So kelompok kita Boys and Girls”, bantah Prisi.
“Tapi, kita khan nggak boy dan girl lagi?”, Kiran tak setuju.
“Kalo aku sih, setuju penggunaan istilah itu. Terasa muda gitu!”, ungkap Rena.
“Ya,ya, betul itu!”, Aldi kembali semangat. Merekapun sepa kat dengan nama Boys and Girls/ BG. (kenang Aldi).

Waktu pertama itu, keadaanya khan begini juga. Ada satu pa sang yang lagi kas maran. Dan satu orang yang lagi putus. Terus, kamu juga, gabung ke mari waktu baru putus ama si Cresya itu khan! Gara-gara itu Prisi sentimen ke kamu.”, balas Aldi.
***
“OK, teman-teman! Diharapkan kerja samanya!”, Mano si ke tua inisiasi menyu dahi rapat. Prisi kebagian sie dana. Sie dana rapat lagi, merundingkan usaha pengum pulan dana.
“M… Prisi, gimana kamu bagian senior ato aksi dana?”, Loren ketua Sie dana.
“Apa ya? Aku pengennnya  aksi dana sih!”, pris ragu-ragu.
“Tapi, kamu khan banyak canel ke senior yang bang Venan i tu?”, balas Mano.
“A! Oh yach udah. Bikinlah gitu! (tidak semangat)”, Prisi me nerima tawaran.
“Ato, kalo kamu nggak mau, biar…”, Mano mencoba menarik omongannya.
“Nggak, nggak papa! Aku bagian senior!”, Prisi menegaskan.
“Ya udah. Tugasmu senior!”, Mano menutup.
***
“Ku bilang nggak perlu! Aku nggak tahan kamu desak terus se perti ini. Kalau begitu kita cerai saja!”, Keluh Nyonya Christian. Christian terus mendesak istrinya , a gar mau diajak ke dokter.
“Baiklah, kalau memang itu yang terbaik!”, balasTuan Chris tian. “Kiran”, pang gilnya. “Sebenarnya…, kau bukan anak kami.”, katanya. Kiran terpukul sekali.
Ibu Fritz sangat menghawatirkan Kiran. Dia bersama suaminya memutuskan per gi berkunjung. Untunglah mereka tiba tepat waktu. Nyonya Fritz sangat kecewa. “Untuk apa kemarin kalian meminta hak perwalian Kiran?! Kalau akhirnya kalian ti dak bisa mengendalikan ego kalian masing-masing! Dengan begini kalian hanya me nyakiti diri kalian sendiri dan juga Kiran! Betapa sakitnya hatiku melihat Kiran kalian perlakukan begini. Aku salah mepercayai kalian. Sekarang, silakan lakukan apa mau kalian! Aku tak peduli lagi! Tidak ada lagi alasan kalian untuk menahan Kiran lebih la ma! Dia akan gila bi la dibiarkan lebih lama lagi!”, katanya tanpa basa-basi.
 Tuan dan Nyonya Christian tak berkutik. Mereka hanya diam menunduk ham pir menangis mendengarkan Nyonya Fritz mencera mahi mereka. Tuan dan Nyonya Fritz pulang membawa Kiran. Tuan & Nyonya Crhristian mencoba menahan Kiran. Tapi, usaha mereka sia-sia. Ibu Fritz menghubungi Alex, anaknya. Alexpun menghu bungi Prisi dan yang lainnya. Mereka bergegas ke rumah Alex.
Mereka menghibur Kiran. Tampaknya kedatangan mereka sangat membantu Ki ran. Pak Fritz dan istri nya memutuskan untuk tidak memba has masalah ini. Mereka  menunggu beberapa hari. Prisi dan kawan-kawan berhasil menenangkan Kiran.
***
“Katanya kalian udah membentuk panitia inisiasi ya?”, tanya Alex.
“Hm… Oh yach, gini, kamu khan tahu kemaren Hp-ku rusak. Terus, aku kebagi an kontak senior. Sekarang yang jadi masalahnya …”, keluh Prisi.
“Pris dah coba tanya ke seniormu?”, tanya Alex.
“Udah! Kami janji ketemu sore ini.”, jawab Prisi.
“Oh yach, kalau tidak salah… tapi tidak banyak?”, tawar Alex.
“Gampang! Yang ada aja dulu!”, Prisi semangat.
“Nich! Oh yach, nomor Bang-Ve-nan…”, Alex keceplosan.
“Kalo nomor dia mah aku nggak perlu! Masih hapal kok! Masa kamu lupa?!”, Prisi tetap semangat.
“Oh iya yach!”, Alex lega. “Tampaknya sekarang kamu dah le bih gimana gitu dari yang kemaren. Tampaknya, kamu sudah mulai bisa melupakan Fico.”, kata Alex tiba-tiba.
Prisi terdiam. Lalu jawabnya, “Kamu khan tahu sendiri, Fico se benarnya ku jadi kan pelarian? Sampe sekarang aku masih diba yang-bayangi olehnya. Aku sendiri ng gak pengen itu. Tapi…aku baru nyadar kalo akulah yang menyakiti dia. Aku berusa ha menjadikan nya sebagai pengganti dirinya. Dan karena itu pula, sampe sekarang a ku belum bisa terima kalo aku masih digantung…”
“Siapa bilang dia ngegantung kamu? Emang dia ada… Nggak, kalo sudah seper ti ini keadaannya, kalian itu bisa dikatakan putus. A pa coba namanya, sampai seka rang, nggak ada kabar berita darinya khan?”, balas Alex.
“Kamu benar juga. Sekarang aku yakin kalo kami benar-benar udah putus.”, te gas Prisi. “M… yang…”, Prisi lagi.
“Maksudmu… Emang kamu mau jadian ma aku?”, Alex nem bak lagi.
“M…hm…m!”, Prisi mengangguk malu.
***
 “…Prisi putri kita.”, Nyonya Fritz ngobrol dengan suaminya di kamar.
Alex yang baru saja pulang kebetulan lewat, tak sengaja dia de ngar. Alex terke jut! Dia tidak percaya. Alex teringat saat kunjungan Prisi ke rumahnya yang sepulang nya membawa bibit bunga mawar. Lalu Mama pernah mengucapkan ‘Wah… Prisi mi rip banget seperti tante waktu muda.’ ‘Pantes, gimana nggak mirip. Anak sendiri ya mirip.’, batin Alex. ‘Kemaren juga waktu makan malam pertama kali di rumah Prisi Mama dan Papa masa langsung akrab gitu dengan Pri si.’, batin Alex. Semakin Alex berpikir keras untuk meykinkan diri nya, semakin dia merasa gelisah. Dia benar-benar syok. Alex benar-benar merasa buntu. Dia menghubungi Prisi.
Di tengah kegalauannya, Mama menegur Alex di kamarnya.
“Ibu titip Kiran ya? Tampaknya Prisi dan temannya yang lain juga dekat dengan Kiran. Ibu harapkan kerjasama mereka. Apa kata orang tua kandungnya nanti. Aku te lah menelantarkan anak mereka. Untuk saat sekarang, Kiran sangat butuh dukungan kalian. Mama & Ayahmu juga. Andai saja saat itu, aku tidak….”, Mama berkata.
“Sudahlah, Bu! Berhentilah menyalahakn diri sendiri. Seka rang saatnya kita me lihat ke depan. Kita jangan selalu melihat ke masa lalu. Kita harus memikirkan apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap Kiran. Bagaimana caranya kita dapat mengem balikan kondisi Kiran.”, potong Alex.
“Oh yach, bagaimana hubunganmu dengan Prisi?”, Mama mengganti topik.
“M…baik!”, jawab Alex.
“Apa tidak sebaiknya kalian putus saja. Sebelum segalanya le bih jauh dan lebih dalam lagi.”, sambung Mama.
“Maksud Mama?”, Alex terkejut.
Mama gugup sekali, dia tak langsung  menjawab Alex. “Ya, su dahlah! Nanti sa ja kita bahas lagi.”, tutupnya.
***
Hari libur, biasanya Prisi dan kakaknya membantu Ibu mereka memasak. “Ma!”, panggil Prisi.
Mereka asyik masak di dapur. “Ya.”, sahut Mama.
“Gimana sih Ma, ceritanya waktu Mama hamil aku sampai aku lahir?”, ta nyanya.
“Khan Mama dah sering cerita…”, jawab Mama.
“Maksudku keadaan mama waktu itu?”, potong Prisi.
“Maksud kamu apa sih, Pris? Kok tiba-tiba nanya begituan?”, Sela balik nanya. Mama hanya menangis. Prisi semakin bingung. Pri si tidak melanjutkannya.
Prisi berpikir, akan bertanya kepada kakaknya. Tapi, itu sia-sia. Sela pasti tak da pat membantu. Jarak mereka yang hanya tiga tahun.
***
Keluarga Fritz sangat memperhatikan Kiran. Kiranpun sangat menikmatinya. A lex dan Kiran semakin hari semakin dekat saja. Ki ran lebih banyak menghabiskan waktu bersama Alex. Dia terlihat sa ngat menikmatinya.
“Bagaimana, kalau malam ini kita di rumahku aja?”, Tawar Alex ke Prisi. Mere ka sedang berbincang lewat ponsel.
“Maksud kamu?”, Prisi nggak ngerti.
“Kita juga ngajak Rena dan Aldi? Hitung-hitung, kita ngumpul satu genk malam ini!”, jelas Alex.
“Kalau satu genk, Kiran juga dunk?!”, tanya Prisi.
“Ya, ampun! Kiran khan di rumah.”, Tegas Alex.
“Tapi katanya kemaren, Tantemu meminta Kiran balik! Nggak jadi?”, tanya Pri si lagi.
“Melihat gaya Om dan Tante, Ibu mana percaya lagi!”, tegas Alex lagi.
***
“Permisi!”, Prisi sedikit berteriak. Rumah Alex terlihat kosong, tapi pintu depan terbuka. Jawaban tak kunjung datang. Prisi lang sung saja masuk.
“…Menjodohkan Alex dengan Kiran…”, Nyonya Fritz berkata. Prisi tak sengaja mendengarnya. Dia terkejut nggak kepalang tanggung. Dia bergegas hendak pergi da ri rumah itu. Tapi…
“Eh, Non Prisi! Tuan Alex pergi bentar bersama Non Kiran. Maaf, lama. Tadi sa ya dibelakang. Saya lihat Nona udah masuk, bu ru-buru saya buatin minum. Nih Non, silakan! Sebentar saya pang gilkan Tuan dan Nynonya.”, Si mbok menghampiri.
Apa hendak dikata... Menunggu yang lain, Prisi ditemani kedu a orang tua Alex. Mereka ngobrol dengan akrabnya, bak orang tua dan anak.
Acara berjalan dengan lancar. Kiran tampaknya tidak senang melihat Prisi & A lex yang selalu berdekatan. Sesekali dia menem pel sangat lekat pada Alex. Seperti di lem aja. Tentu Prisi merasa sedi kit terganggu. Tapi, Prisi masih tetap sabar, mengi ngat persahabatan mereka. Kiran sesekali membiarkan Alex dan Prisi berduaan.
***
“Sendiri?”, tanya Prisi. Mereka janji ketemu di toko buku Jl. Gajah mada. Alex mengangguk semangat. “Nggak papa?”, Prisi lagi.
“Prisi sayang, kamu pikir kamu aja yang pengen?”, balas Alex.
Prisi tersipu malu. Dirinya melambung tinggi. Mereka melan jutkan perjalan ke Medan Fair Plaza. Mereka diner di salah satu ru mah makan yang ada di sana. Mereka sangat menikmati saat-saat itu. Mereka benar-benar tenggelam dalam dunianya.
Tiba-tiba ponsel Alex berdering. Kiran memintanya pulang. Alex menjelaskan... Kiran semakin mendesak. Berualang kali Kiran miscall ke Alex. Alex cuek. Kiran tak kehabisan akal. Dia menghubu ngi Prisi. Dia berhasil. Prisi menyuruh Alex pulang.
Semenjak itu hubungan mereka memburuk. Prisi sudah kehabi san akal. Dia ti dak tahu lagi. Bukannya Alex tidak mau bertindak. Hanya saja… Walaupun begitu mereka tidak memutuskan untuk bubaran.
***
Prisi dan teman-teman sekelas baru selesai rapat inisiasi. “Pris, ada alumni yang nyari!”, sapa Loren.
Tak sempat Prisi bertanya Loren sudah menghilang. “Alumni? Katanya khan ba ru minggu depan ngabari. Kok sekarang yach? Pake acara nyari aku segala lagi!”, ba tin Prisi. Prisi belum selesai berpikir, sang alumni sudah mendapatinya.
“Hallo, Pris!”, sapanya. Prisi sungguh-sungguh terkejut. Yang ada di hadapan nya sekarang adalah Venan. Di tengah keguncangan hubungannya dengan Alex, dia bingung harus bersikap bagaimana. “Aku pulang sayang!”, katanya lagi sambil meren tangkan tangan. Prisi tidak mengindahkannya.
***
“Senior kita pada janji dua hari lagi, itu aja!”, lapor Prisi, pada rapat intern Sie dana. “Ok! Saya rasa sudah tidak ada lagi, terima kasih!”, Loren koordinator dana me nutup rapat.
Venan sudah menunggu Prisi di luar. “Eh, Bang Venan. Berapa orang dari alum ni , Bang?”, sapa Prisi.
“Paling yang ikut rombongan hanya sekitar lima orang. Keba nyakan pergi sendi ri. Yah…kira-kira dua puluh orang gitu deh!”, Ja wab Venan.
“Oh, gitu ya Bang! Ma kasih ya Bang!”, tutup Prisi.
***
Begitulah seterusnya. Venan gencar mendekati Prisi. Lambat laun, Venan me ngetahui kondisi hubungan Prisi dan Alex.
“Sekarang aku baru mengerti penantianmu selama ini. Karena itu sekarang gili ranku menantimu.”, Venan berkata.
“Sebelumnya, maaf Bang. Aku sungguh bingung menghadapi situasi saat itu. A bang menggantungku. Abang pergi dengan memba wa status sebagai pacarku. Tapi, setelah itu Abang tidak ada kabar berita. Itu…”, Prisi mencoba berargumen.
***
“Maafkan aku Pris, bukannya aku…”, Alex berkata. Setelah le bih dua bulan, ba ru hari ini mereka bicara berdua lagi. Alex sibuk mengurus Kiran.
“Aku bisa mengerti itu. Tapi, dengan keadaan yang seperti ini, otak ku bisa-bisa tidak akan jalan lagi. Belum lagi, Bang Venan yang terus mengganggu. Hari-hari bela kangan ku jalani begitu berat. Kalau bukan karena tanggung jawabku, takkan ku lade ni dia. Maafkan aku, kalau kali ini aku sedikit emosional. Aku…ingin…kita…BRE AK… Aku tidak tahu sampai kapan otakku bisa jalan lagi. satu hal yang aku ingin kau tahu, aku sungguh tidak rela kehilanganmu. Tapi, di sisi lain, aku…”, Jelas Prisi.
“Belakangan ini, Kiran sering berkunjung ke rumah orang tua nya. Dia mulai lu pa dengan ku. Tadinya, aku ingin langsung menghu bungimu. Tapi… Baiklah ada ba iknya kita break dulu. Perlu aku te kankan, aku juga sepertimu dan akupun sungguh sudah memasrahkan segalanya. Aku mengerti kau tidak mudah mengambil keputusan ini. Sekali lagi ku katakan, aku siap menerima apapun ke putusanmu. Biarkanlah wak tu membantumu. Mari, ku antar pulang.”, balas Alex.
***
“Bagaimana ini? Karena masalah yang menimpanya, Prisi jadi berpikir yang ti dak-tidak. Aku takut kehilangan Prisi.”, keluh Ibu Pri si. Dia sedang berbicara dengan suaminya.
“Aku, sudah coba mendiskusikan hal ini dengan Fritz. Menurutnya, Kiran su dah siap. Untuk itu, dia mengun dang kita makan malam.”, jawab Ayah.
***
Tibalah saatnya makan malam. Pak Fritz memulai ceritanya. Kiran adalah anak sahabat mereka, Keluarga Evan. Dulu keluarga Fritz memiliki seorang anak perempu an. Nyonya Fritz senang sekali dengan kelahiran putrinya. Anak itu sungguh cantik. Dia diberi nama Prisi. Badannya gempal, kulitnya putih halus, pipinya tembem. Seti ap orang yang melihat anak itu pasti akan jatuh hati padanya. Lengkaplah sudah ke bahagiaan mereka. Tuan dan Nyonya Evan ju ga jatuh hati pada anak itu. Kedua kelu arga itu sering melakukan ja lan-jalan keliling kota bersama. Beda anak itu dengan Kiran hanya lima bulan. Kejadiaan itu terjadi ketika anak itu kira-kira berumur 5 bu lan dan Kiran setahun. Lilo dan Videl, tidak ikut. Mereka berlibur di rumah Nenek nya. Ayah dan Ibu Kiran duduk di depan bersama a nak itu. Sementara Fritz dan istri nya beserta Kiran duduk di belakang. Suami-istri Frizt juga sangat menyayangi Ki ran. Pak Evan kehilangan kendali akibat diserempet motor yang ugal-ugalan. Mereka keluar jalur, dan menabrak truk yang datang dari arah yang berla wanan. Suami istri Fritz segera keluar bersama Kiran. Tapi, sayang disayang, tuan dan Nyonya Evan  (pingsan) seta anak itu masih di dalam, mobilpun meledak dengan hebatnya. Kejadi an itu begitu cepat…. Evan dan istri serta anak itu meninggal. Mereka  hangus terba kar. Pengendara ugal-ugalan itu kabarnya dia juga meninggal, se telah sempat dilari kan ke rumah sakit. Ibu Fritz tak sanggup mengi ngat mayat putri kesayangannya yang hangus terbakar hampir men jadi debu. Maka, jasad anaknya disatukan dengan jasad kedua saha bat mereka itu. Inilah alasan mengapa Nyonya Fritz tidak ingin me ngingat anak itu lagi. semakin dia mengenangnya, semakin dia mera sa bersalah. Nyo nya Fritz sangat terpukul waktu itu. Mereka bermak sud mengangkat Kiran. Tapi, a dik Nyonya Fritz/ Tuan dan Nyonya Christian  sudah tiga tahun menikah tidak kun jung punya anak. Hak asuh Kiranpun dipercayakan kepada mereka.
Untuk Prisi. Dia memang anak kandung orang tuanya yang sekarang. Hanya saja, ketika ibunya hamil dia, Ayahnya sakit keras (koma). Menurut perkiraan dokter, sulit bagi ayahnya untuk lepas dari koma. Ibu Prisi tak yakin dapat menghidupi kedua anaknya, kelak suaminya akhirnya…. Ibu Prisi ber maksud menggugurkan kandu ngannya. Keluarga Fritz yang baru kehilangan putri nya, mengetahui hal ini. Mereka tinggal di sebelah rumah Prisi. kejadian itu terjadi, ketika mereka di Padang. Mereka lah yang mencegah Ibu Prisi. Mereka sudah sempat mengurus surat perjanjian adop si anak. Ternyata Ayah Prisi selamat. Otomatis per janjian batal. Untuk tetap menge nang perjanjian itu, dan yang lahir adalah perempuan, maka dia diberi nama Prisi. Seperti nama anak Tuan dan Nyonya Fritz yang sudah meninggal. Walaupun kehamil an dilanjutkan, Ibu Prisi masih tetap takut. Karena sempat terlintas dalam pikirannya untuk menggugurkan. Dia tahu kondisi si anak (jasmani dan rohani), sangat dipenga ruhi dengan kondisi jasmani dan rohani si ibu. I bu Prisi takut, bila dia mengetahui yang sebenarnya a kan mempengaruhi perkemba ngan  jiwa Prisi.
***
Kiran makin lengket dengan Alex. ‘Bagaimana ini? Aku tak bi sa merelakan nya? Aku juga tak bisa lagi menerima Bang Venan. Ada apa ini. Padahal selama ini demi dia aku menanti. Adakah pe nantianku sudah melampaui batasnya? Hingga mem buatku tak meng inginkannya lagi. Aku sungguh tak bisa merelakan Alex. Aku mera sakan sesuatu yang berbeda dengannya. Aku butuh dia! Adakah a ku…? Tapi, bila ka mi… Bagaimana dengan Kiran? Dia sahabat ku. Dia juga menginginkan dan membu tuhkan Alex di sampingnya. Tolong Tuhan, apa yang sebaiknya aku lakukan?’, batin Prisi yang sedang merenung di kamarnya.
Prisi menghubungi Venan. Mereka hanya bicara berdua. “Eh, Pris, tau tidak, A bang diterima di perusahaan di Bogor…”, Venan berkata semangat.
“Bang sebenarnya…”, potong Prisi. Dia meyakinkan Venan.
“Tadinya, Abang pikir kamu minta balik. Rupanya… Kalo memang itu keputus anmu. Ya sudah. Ternyata memang sudah terlambat. Sebenarnya yang kemaren, A bang gagal pada saat training. Aku berpikir seorang lulusan yang cukup dapat dibang gakan sepertiku tidak perlu ditraining. Abang malu sekali. Abang memutuskan untuk tetap di sana mencari pekerjaan dan tidak menghubungi Prisi sampai, berhasil menda patkan pekerjaan. Tapi…ternyata, mencari pekerjaan itu sungguh sulit.”, jelas Venan. Suasana hening… “Yah… paling tidak kali ini Abang bisa pergi dengan tenang. Aku tidak perlu mengkhawatirkan mu lagi sekarang.”, Venan mengakhiri penjelasannya.
***
Inilah saatnya Prisi memperjelas statusnya dengan Alex. Prisi lebih memilih me ngakhiri hubungan mereka. Hal ini tak terlepas dari kondisi Kiran. Dia merasa Kiran lebih mebutuhkan Alex, daripada dirinya.
Kedua orang tua angkat Kiran datang menjemputnya. “Kiran mengerti maksud baik Tante. Kiran merasa senang sekali tinggal di sini. Kiran ucapkan terima kasih. Terlebih buat Bang Alex. Dari semua perhatian yang Kiran terima di rumah ini, Kiran merasa masih ada yang kurang. Dan setelah beberapa kali kunjungan ke rumah, Ki ran baru sadar, yang terbaik buat Kiran sekarang adalah berada di samping kedua o rang tua Kiran. Ketika di sana, Kiran merasa nyaman sekali. Walaupun mereka bukan orang tua kandung Kiran, tapi merekalah yang selama ini mendampingi Kiran. Dari Kiran kecil sampai sebesar ini. Mereka juga telah menyayangi Kiran. Itu sudah cukup membuat Kiran merasa mereka lebih dari sekedar orang tua yang mengangkat Kiran menjadi anaknya. Dan sepertinya mereka juga merasakan hal yang sama. Buktinya, untuk apa mereka terus meminta Kiran kembali?”, jelas Kiran. “Tante tidak usah kha watir, tam paknya mereka sudah bisa dipercaya sekarang.”, Kiran tersenyum.
“Ya sudah. Semua itu terserah kamu. Lagipula, Kiran khan su dah dewasa, Tan te akan mendukung apapun keputusanmu. Tapi, Tan te harap kamu tidak salah paham atas dukungan tante ini.”, Nyonya Fritz ikut tersenyum.
“Kiran mengerti betapa Tante menyayangi Kiran. Kiran bisa rasakan itu. Semua yang Tante lakukan untuk Kiran, itu karena rasa sayang Tante.”, Kiran meyakinkan.
Dengan dibawanya Kiran oleh Nyonya Fritz membuat Keluarga Christian kehila ngan Kiran dan mereka sadar, kalau Nyonya Fritz benar. Christian terlalu berhasrat un tuk memiliki seorang anak, hing ga selalu mendesak istrinya untuk konsultasi ke dok ter. Sementara Nyonya Christian terlalu takut, kalau dia ternyata mandul, dia akan di tinggalkan suaminya. Mereka tidak menyadari kehadiran Kiran.
***
Beberapa bulan kemudian…
“Kamu rencana jadi coba bea siswa itu? Ke mana?”, tanya Prisi.
“Iya! Kalo bisa sih, coba S-2 ke Jepang!”, Kiran semangat.
Om dan Tante nggak ada yang nemenin donk?”, tanya Prisi balik.
“Kamu belum tahu yach? Ibu khan sedang hamil!”, Kiran tambah semangat.
“Oh yach? Enak dunk, sebentar lagi kamu punya adik!”, Prisi ikut senang.
“Ya… Begitulah! Teringatnya kamu dan Bang Alex…”, Tanya Kiran.
“Sudahlah, semuanya sudah berakhir.”, Prisi lemas.
“Aku tahu, kamu melakukan itu salah satu alasannya karena aku khan? Setelah beberapa lama aku tinggal bersama orang tuaku. Aku senang sekali. Rasa ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan rasa senang apapun. Aku sadar, sebenarnya yang terpenting bagi ku adalah mereka dan perhatiannya. Sikapku terhadap Bang Alex tak lain adalah karena aku kehilangan perhatian kedua orang tuaku.”, jelas Kiran.
“Tapi, sepertinya Alex…”, Prisi mencoba berargumen.
“Tidak! Dia tidak seperti yang kamu bayangkan. Semua itu adalah karena dia su dah menganggapku seperti adik kandungnya sendiri. Ternyata, aku juga begitu. Aku telah salah mengartikan perasaanku terhadapnya. Kami sudah dekat sejak kecil. Bah kan, dulu kami bersekolah di SMU yang sama.”, potong Kiran.
***
Tert…tert…, Hp Prisi berbunyi, “Ya bang?”, katanya.
“Abang baru selesai sidang nih!”, jawab Venan.
“Oh, ya! Hasilnya?”, tanya prisi semangat.
“Ya…gitu deh!”, jawab Venan lagi.
“Transkrip nilainya kapan?”
“Abang udah na nya sih! Katanya mungkin satu minggu atau lebih. Pokoknya gi tu keluar langsung Abang kirim.”
“Syukur deh bang! E…”
“Tenang, sebelum abang netap di sana pasti Abang pamit.”
… Sementara itu Kiran kedatangan seorang teman. “Udah selesai ngo mongnya?”, tanya Kiran.
“Memang Prisi ini kalo udah bang Venan aja!”, tambah Rena.
“O..pantes…”, Celutuk Aldi baru sadar.
“Aduh, Sori deh. Lama ya? Eh, yang tadi siapa?”, tanya Prisi.
“Oh, itu Bang Alex.”, Jawab Rena.
“Kok kayaknya kalian udah akrab gitu?”, Prisi menunjuk Rena dan Kiran.
“Dia itu Seniorku di SMA. Dia anak elektro 02. Dia lagi pdkt ama junior kita Cresya. Aku ngajak Rena untuk proyek ini.”, jelas Kiran. Di tengah Kiran menjelas kan, Rena kedatangan seorang teman.
“Aku kok?”, tanya Prisi lagi.
“Kamu khan sama BANG VE NAN terus.”, jawab Kiran.
“Oh ya, kenalin, ini sepupuku.”, Rena langsung memperkenalkan sepupunya. Namanya Fico.
***
Nyonya Fritz mengadakan acara syukuran untuk Kiran. Dia meminta bantuan Rena & Prisi, Ibu & kakak Prisi juga ikut. Kiran  tidak mau ketinggalan, walaupun acara itu untuknya, dia memaksa untuk ikut serta. Prisi & Alex….
Semua sudah berkumpul. “Tampaknya, impianku akan menjadi kenyataan yach?”, Nyonya Fritz bahagia sekali.
“Maksud Tante?”, Kiran heran.
Nyonya Fritz menyenggol Alex dan melirik Prisi. Prisi bingung.
 “Aku juga mengharapkan yang sama kok Ma! Doakan ya Ma!”, Alex tersipu.
“Oh yach, jarang-jarang lho anak dan ibu sehati! Waktu itu Mama menyuruh ka lian putus karena Mama perhatikan, gaya berpacaranmu agak… Mama lihat kamu se ring sekali berganti pacar. Mama tahu, kamu melakukan itu karena kamu mencari yang mengena di hati. Tapi, Mama takut bila kamu meninggalkan Prisi. itu akan menyakitinya. Mama tidak mau itu. Karena itu, Mama berpikir akan menjodohkanmu dengan Kiran. Mama lihat kamu sangat menyayangi Kiran. Dan Kiran seperti menyukaimu. Mama rasa kalian akan cocok… (memandnag Kiran)”, Jelas Nyonya Fritz.
“Kiran nggak papa kok Tante! Kiran baru sadar, ternyata Kiran juga menganggap Bang Alex sebagai saudara kandung!”, Potong Kiran.
Alex menembak Prisi untuk yang ketiga kalinya. Karena bahagianya Prisi tak sanggup berkata-kata, dia hanya memeluk Alex erat.
Kiran memperoleh 2 orang adik sekaligus. Adiknya kembar identik cewek. Mengingat usia ibunya, ini adalah kehamilannya yang terakhir. Ibunya meminta dua nama untak adik-adiknya itu. Kiran menamai mereka Lila dan Violet. Kedua warna ini mirip tapi mereka tetaplah dua warna yang berbeda. Sama halnya dengan adiknya yang kembar identik itu. Sekalipun wajah mereka mirip, mereka tetaplah dua orang dengan dua pribadi yang berbeda.
Oleh: Santyta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar