Senin, 12 Agustus 2013

Dicomblangi


“Jadi, gimana Cy? Tampaknya Dify.... Rencanamu apa lagi?”, tanya Laura, saha batnya. Mereka satu sekolah. Mereka siswa SMA.
“Udahlah. Kayaknya kamupun dah capek.”, Cresya lemas. Cresya menyerah.
***
Cresya & Laura masuk ke Universitas Negri yang sama & dengan jurusan yang sama.
Gitra membawa Cresya ke rumahnya. Gitra adalah pacar Cresya dan juga seniornya di kampus. Suasana di rumah Gitra terasa aneh. Ketiga orang adiknya (2 laki-laki & 1 perempuan) & Mamanya, menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Mereka tidak me nyadari kehadiran Cresya. Entah mengapa, setelah Gitra berbicara dengan adiknya dia segera mengantar Cresya pulang. Cresya bingung. Gitra hanya bilang, kalau semua baik-baik saja. Cresya jangan salah paham.
***
“Huh! Gimana sih! Kok dirijek terus!”, Gitra kesal. “Hallo?”, Gitra mendapat telepon.
“Hallo saudara Gitra? Saya personalia perusahaan B. Kami tertarik dengan lama ran Anda. Kami sudah berbicara dengan dosen Anda. Kami harap Anda dapat segera mengirimkan data Anda selengkapnya.”, si penelepon...
***
“Akhirnya...”, Cresya baru selesai mengerjakan tugas. “Hah, 7 panggilan!”, Cre sya terkejut melihat Hp-nya yang dari tadi berada di tas. Dia melihat jam. Waktu me nunjukkan 21:55. Hp-nya berdering lagi.
“Oh...(memastikan siapa yang menghubung i) Ya Dif?”, katanya.
“Nggak ngganggu?”, Dify meyakinkan.
“Udahlah langsung aja!”, Cresya bersahabat.
“Em...Kamu...”, Dify memulai maksudnya.
“Kenapa mau nembak aku lagi?”, tebak Cresya.
“Eng iya...”, Dify mebenarkan.
“Aduh gimana sih? Udah berapa kali ku bilangin. Aku tuh udah nggak ngarepin kamu lagi! Ngerti!?”, tegas Cresya.
“Apa nggak ada sisa-sisa perasaanmu yang kemaren ke aku??”, Dify belum yakin.
“Ok! Aku memang nggak benci kamu. Tapi,... seminggu sesudah penolakkan mu, aku nyerah. Lagian aku udah punya pacar. Kalo nggak percaya...?”, Cresya.
“Ok, ok, aku percaya. Namanya Gitra khan! Kalian nggak ada tanda-tanda... I ngat, aku selalu nunggu kamu! Kalian nggak ada tanda-tanda...Ingat lho aku selalu nunggu kamu”, potong Dify.
“Memang Rena udah ngomong ke aku, dia juga bilang kamu baru putus. Apa ...”
“Mereka itu, pada mereka yang nembak. Kalau pun kalian putus ketika aku lagi jalan dengan cewek lain. Aku pasti nerima kamu.”
“Terus cewekmu?”
“Ya...kamu jadi sepiaku gitu?”
“Kalo aku nggak mau?”
“Ya... ka lau memang itu maumu aku mutusin dia.”
“Emang kamu bisa dipercaya?”
“E...jauh dalam lubuk hatimu masih ada aku khan?” “Ih, gimana sih kamu ini? Perlu ku u langi...?”
“Op, udah, udah!”
“Tolong donk, apa sih maumu sebenarnya? Aku dah capek nih?”, Cresya menghela dan menahan napas.
“Ok, ok, aku ngerti. Gini aja, a...besok kamu ada waktu?”
“Istirahat makan siang, bisa?”
“Ok, seklian makan siang ya? Jam berapa?”
“Terserah. Jam satu?”
“Ok, di kantin ya? Kali ini aku yang teraktir, deh.”
“Terserah. Tapi...”
“Udah ya, kamu bilang kamu udah capekkan. Ku tunggu besok. (Rinaldi langsung menutup teleponnya)”

Cresya berbaring di tempat tidurnya. Dia hampir terlelap, dia tersentak. “Aduh! Ya hallo?”, katanya menjawab telepon.
“Akhirnya... Cya udah tidur?”, si penelepon.
“Oh, Bang Gitra Belum sih, tapi tadi udah agak ketarik-tarik.”, jelas Cresya.
“Kalo gitu, besok aja ya?”, tawar Gitra, pacar Cresya.
“Oh, nggak kok Bang. Nggak papa. Kayaknya ada yang penting, sampe Abang bela-belain nelepon larut malam gini?”, desak Cresya.
“Ya udah deh, barusan Abang dapat telepon dari perusahaan B...”, kata Gitra.
***
Cresya, Zora dan Laura datang bersama. Dify terkejut. Merekapun mengambil tempat, dan langsung memesan makanan. Dify kelihatan gugup.
“Tenang, BMM kok!”, Cresya.
 “Ok! Langsung aja! Gimana tawaranku kemarin?”, Dify to the point.
“Aduh gimana sih kamu, khan udah ku bilang!”, Cresya mulai kesal.
“Ok, ok. E…”, Dify tak mau kalah.
“Tunggu! Kalo kamu singgung itu lagi, aku pergi!”, Cresya bergegas.
“Op, sabar!”, Dify mencair.
Mereka terdiam. Akhirnya pesanan datang. “Ok, dari pada sia-sia. Gini aja, aku hanya bisa menawarkan persahabatan! Gimana?”, Cresya juga mencair.
Dify tak langsung menjawab. Tapi, dia sadar tampaknya keputusan Cresya su dah bulat. “Ok, aku setuju! Tapi…”, Dify mengalah.
“A..”, Cresya hendak memotong.
“Aku jadi anggota kalian.”, sambung Dify.
Cresya memutar otak. “Dasar! Nggak mau kalah!”, Cresya setuju & tersenyum.
“Hore!!!”, Dify kegirangan.
“Tapi ingat!…”, Cresya menegaskan.
“Ya, ya! Kalo soal itu aku nyerah.”, lagi-lagi Dify memotong.
“Oh, ya aku ada kabar baik nih! Tapi…”, Cresya melirik Dify.
“Kenapa? Aku khan anggota kalian juga!”, tegas Dify. Cresya tetap bungkam.
“Aduh gimana sih? tadi khan katanya SAHABAT!?”, Laura ikut mendesak.
“Ok deh,… (kabar Gitra)”, Cresya cerita.
“Bagaimana kalau kita mempersiapkan acara?”, Dify semangat.
“Khan belum pasti juga!”, Cresya menegaskan.
“Oh ya, ya!”, tambah Zora

Tert…tert…, Hp Cresya berbunyi, “Ya Bang?”, katanya.
“Abang baru selesai sidang nih!”, jawab Gitra.
“Oh, ya!? Hasilnya?”, Cresya semangat.
“Ya…gitu deh!”, Gitra santai.
“Transkrip nilainya?”, Cresya.
“Abang udah nanya sih! Katanya mungkin satu minggu atau lebih. Pokoknya gi tu keluar langsung Abang kirim.”, Gitra.
“Syukur deh Bang!”, balas Cresya. “E…”, sambungnya.
“Tenang, sebelum Abang ke sana pasti Abang pamit.”, potong Gitra

Zora kedatangan seorang teman. “Udah selesai ngomongnya?”, katanya.
“Memang Cresya ini kalo udah Bang Gitra aja!?”, Laura.
“O…pantes…”, Dify baru sadar.
“Aduh, Sori deh. Lama ya?”, Cresya malu. “Yang tadi itu siapa?”, tanyanya.
“Oh, dia Bang Arthur!”, jawab Zora.
“Oh…. Itu Bang Arthur!”, Laura baru tahu.
“Kok kayaknya kalian udah akrab gitu?”, Cresya menunjuk ke Laura & Zora.
“Dia itu Seniorku di SMA. Dia lagi pdkt ama junioran kita Missy. Aku ngajak Laura.”, jelas Zora.
“Aku kok…?”, Cresya lagi.
“Kamu khan sama BANG-GI-TRA terus!”, potong Zora.
***
Ada apa sih Bang, kok kayaknya ada yang mo dikejar?”, tanya Cresya.
“Iya, ada apa Bang?”, Dify menguatkan.
“Nilaiku udah keluar, dan barusan difax. Sekarang ya, tinggal nunggu kabar.”, Jawab Gitra.
“Bagus itu Bang!”, Dify semangat. Mereka asyik ngobrol. Hanya Cresya yang... Dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Dify.
‘Apaan sih, si Dify! Siapa lagi yang ngajak dia! Perasaan, aku nggak ada calling dialah! Selalu aja dia ikutan!’, batin Cresya.
“Eh, Bang Arthur!”, sapa Laura.
“Asyik nih! Ada apa?”, balas Arthur.
“Ini, nih! (nunjuk Gitra)”, jawab Zora.
“Oh…, selamat ya Bang!”, Arthur semangat.
“Bang Arthur sendiri?”, selidik Zora.
“Biasalah…”, Arthur nunjuk ke arah Missy.
“Oh…”, Laura mengangguk.
“Eh, itu khan junior kita!”, Cresya terkejut.
“Ember!”, jawab Laura.
“Hm…”, sekarang Cresya yang mengangguk.
Oh yach, pasti pembaca bingung! Gitra adalah asisten dosen. Semua mahasisiwa dosen atasannya menyenanginya. Salah satunya adalah Arthur.Dia benar-benar pem bimbing yang baik. Obrolan berakhir. Cresya & Gitra pulang bareng, memisahkan diri dari rombongan.
***
“Gomenassai…for every think…Gomenassai…Apa bos?”, seperti biasa Cresya enjoy di kamar mandi dengan MP3-nya. Lagunya terhenti.
“Pasti kamu lagi di kamar mandi? Memang kamu ini nggak bisa dibilangin!”, Gi tra memulai ceramahnya.
“Jadi, ceritanya aku dimarahi nich?”, Cresya manja.
“Emang ini namanya marah? Trus kamu mandinya selalu jam segini?”, Gitra.
“Hmm!”, Cresya hanya mendehem.
“Awas lho, ntar masuk angin?”, sambung Gitra.
“Aduh, Abangku inilah! Iya deh, ini yang terakhir kalinya. Tapi, kalo masalah MP3…”, Prisi sedikit mengalah.
“Tapi bisa khan dikurangi pelan-pelan?”, tanya Gitra.
“Hm…Abang ini!”, Cresya menurut.
“Dasar manja!”, Gitra.
“Tapi, Abang suka khan?!”, Cresya manja lagi.
“See you.”, Tutup Gitra.
“Juga.”, Cresya.
***
Gitra menunggu Cresya. Perkuliahan selesai. “Bang!”, Cresya berbisik. Dia lang sung menghampiri Gitra diikuti Zora, & Laura menyusul bersama Dify.
“Sebelumnya sori ya? Sepertinya setelah ini kita... Masih banyak yang harus diu rus. Buat jaga-jaga, siapa tahu nggak sempat. Tapi, tenang, Abang usahakan. Khan dah janji?”, Gitra menjelaskan.
“Em…Ok deh!”, Cresya tersenyum.
“Iya khan, masih ada kami!”, Laura semangat.
“Iya betul itu!”, Zora ikut semangat.
“Hm!!!”, mereka semua serentak sambil mengangguk.
“Abang pasti nelepon. Paling nggak SMSlah. Ya?”, Gitra menyadari Cresya yang masih belum bisa terima.
“He…he…he…”, Cresya ceria kembali.
***
Gitra melaksanakan janjinya. “Tolong aku sahabatku. Bawa aku bersama mu ten tang di…Eh, SMS!”, Cresya asyik dengan MP3 di kamar mandi. “Aku jatuh cinta. Takdir aku hidup denganmu. Na…na…”, sambungnya.
“Perasaan tadi lagu sedih? Kok jadi berbunga-bunga?”, Raquel kakak Cresya. Ayah dan Ibu tertawa.
Keluar dari kamar mandi, “Hallo. Tapi tadi dah SMS?”, Cresya…
”Memanglah, tadi SMS, sekarang telepon! Hm…?”, Raquel menggeleng.
Cresya & keluarga (Papa, Mama, dan Raquel) sering makan malam bersama di rumah. Mereka asyik mengobrol tentang Gitra…

Gitra sudah mendapat konfirmasi dan hari ini dia akan berangkat. Cresya, Laura, Zora, serta Arthur dan Missy mengantarkannya.
***
Selesai libur semester. “Kok kamu kelihatan aneh? Ada apa yach? Apa yang berubah, yach?”, sapa Zora.
“Hp-ku!”, Cresya ketus.
“Oh ya,ya! Biasanya kupingmu penuh dengan wayar-wayar!”, Zora.
“Hp-ku jatuh, hancur berkeping-keping di kamar mandi!”, jelas Cresya.
“Nggak diservis?”, tanya Zora.
“Udah. Katanya, udah hen karena MP3-nya keseringan dipake.”, Cresya.
“Nggak diganti…?”, Zora lagi.
“IP-ku jatuh!”, tambah Cresya.
“Bang Gitra?”, Zora.
“Semenjak positif diterima, nggak ada kabar berita darinya. Apa lagi sekarang! Mau ngubungi ke mana dia! Udah lebih empat bulanan gitu.”, Cresya.
“Hai genk!”, sapa Dify.
“Coba dari Hpku! Nah! Ingat khan nomornya?”, tawar Zora. Cresya menurut. Nomor Gitra tidak bisa dihubungi. Cresya lemas. “Sudahlah! Mungkin Bang Gitra me mang lagi sibuk, ato apa… gitu! Mungkin... Apa lagi, Hp-mu hilang? Seperti yang ka mu bilang mau ngubungi ke mana dia? Sabar aja dulu, ya?”, hibur Zora.
“Makasih yach, Za?”, Cresya.
“Eh, ada apa nih?”, Laura baru datang.
“Iya, apaan sich?”, sambung Dify.
Zora menceritakan semuanya. Sekali lagi mereka menghubungi Gitra. Tapi…
“Masalah nilaimu itu, kenapa kamu nggak minta tolong ke kita?”, Dify.
“Aku tahu. Tapi, apa kamu masih mau…?”, Cresya ragu.
“Udah Cya. Kamu pikir aku pendendam apa?”, balas Dify.
Cresya mengikuti bimbingan Dify dengan serius. Dasar Cresya yang sudah terbi asa manja! Dify kesulitan. Semenjak itu Dify dan Cresya menjadi dekat. Dan Laura tampaknya mulai risih...
***
“Aih, lagi-lagi tugas! Untung kelompok!”, keluh Cresya. Cresya, Dify, Jhony & Patar mengulang. Mereka satu ke lompok. Selesai kuliah, mereka langsung nyebar di perpus. “Gimana Dif?”, Cresya.
“Em…nggak!”, Dify menggeleng. “Yuk ke warnet?”, ajaknya.
“Jadi tuh, apaan?”, Cresya ke Dify yang sedang memegang sebuah buku.
“Ah, ini cuma teorinya doank!”, Dify lagi. “Buruan!”, desaknya…

“Ayo, semua kumpul bahan!”, kata Jhony si ketua kelompok. Semua mengum pulkannya. “Kamu Cres?”, tanya Jhony. Cresya menunjuk sebuah disket perlahan. Jho ny nyengir.

Dify dan Cresya jalan bersama. “Aduh, makasih banget ya Dif! Untung aja ka mu ngajak aku ke warnet. Kalau nggak, tahu deh!”, Prisi lega…
“He…he…teringatnya tadi pas di perpus…?”, tanya Dify
“Habis selama ini aku khan sentimen...”, Cresya malu-malu.
“Tapi, tadi si Jhony itu, mesti kali!”, Dify…

“Weis, tuh Cresya dan Dify!”, celutuk Laura.
“Ih, biasa aja lagi!”, balas Zora.
“Hallo semua!...(soal Jhony). Mereka juga bilang selama ini aku terlalu bergan tung dengan Bang Gitra!”, Cresya. Arthur hanya nyengir. ‘Eh, ngapain dia ikutan ngumpul! Sok nyengir lagi!’, batin Cresya.
“Op, tenang-tenang bos! Dia anggota baru kita!”, Jelas Zora.
Perkara Jhony, membuat Cresya & Dify semakin akrab. Hal itu membuat Laura sedikit tidak nyaman.

“Mana Laura?”, Zora ke Dify. Dify diam. “Kok, dia laen gitu sekarang?”, Zora ke Cresya. “Lho Cresyanya…”, Zora baru sadar Cresya sudah menghilang.

“Akhirnya…”, Cresya lega. Dari tadi dia kebelet pipis. “Eh, Laura!”, teriaknya kencang. Refleks Laura menoleh & langkahnya terhenti. Seketika itu juga Prisi menangkap tangannya. Cresya langsung membawanya.
Mereka semua sudah berkumpul, sekarang tidak hanya Laura yang masam, Cre sya juga. Arthur ikut nimbrung. Suasana menjadi aneh. Laura masam melihat Cresya. Cresya masam melihat Arthur. Dify tersipu-sipu melirik Laura. Arthur dan Zora he ran. Keheningan melanda.
“Kalian kenapa seh? Kok aneh? Ada apa nih?”, Zora memecahkan keheningan.
“Kenapa, hasil perjuangan Dify?”, Laura agak ketus.
“Bukan…lebih tepatnya hasil permenungan.”, jelas Dify.
“Apa sih? Bikin penasaran aja!”, Zora penasaran.
“Dif sekarang!”, Cresya sedikit berbisik.
“Maukah kamu jadi pacarku…?”, Dify nembak Laura. Hening lagi…
“Em…, sebelumnya sori ya Dif? E…aku nggak bisa jawab sekarang… Jujur aku syok? E…bagaimana kalo dua atao tiga hari lagi? enggak deng e…”, tawar Laura.
“Em, aku nggak maksa harus kamu jawab sekarang. Yang penting kamu jawab. Masalah waktu, terserah kamu. Aku akan sabar nunggu sampai waktu yang kamu ra sa…. Kapanpun itu. Apapun jawabanmu. Semuanya itu benar-benar terserah kamu. Aku harap perkataanku ini dapat membantumu menenangkan diri.”, potong Dify.

Dify  merasa aneh. Dia merasa… Dify penasaran. Dia mendatangi Laura ke ru mahnya. Ternyata dugaannya benar. Laura tidak terima kedekatan Dify & Cresya. Dia syok. Laura berpikir... Selama Laura menjadi mak comblang Dify & Cresya, mereka mulai saling mengenal satu sama lain. Tanpa mereka disadari, hal itu menumbuhkan rasa ketertarikan antara mereka. Awalnya, maksud bergabungnya Dify adalah me mang untuk mendekati Cresya.  Tapi, ternyata perasaannya selama ini terhadap Cre sya tidak lebih dari rasa penasaran. Hal ini, disadarinya setelah kedekatan mereka da lam beberap kesempatan. Dify berhasil meyakinkan Laura. Di luar dugaan, Laura lang sung menjawab.

“Memanglah, gayamu itu Ra!”, celutuk Zora.
“Entah! Ku kirain ada apa? tiba-tiba ngajak kumpul. Gayanya! Taunya…! Kok bisa? Cerita donk? (Laura bungkam) Duh, gimana sih, nih anak?! Cepetan donk, mumpung Dify belum datang!”, Cresya.
“Iya Ra! Aku juga!”, tambah Zora. Laura termakan bujuk rayu mereka.
Arthur dan Difypun tiba. “Enak yach, yang brau jadian. Aku yang baru putus ini, jadi iri.”, goda Arthur
***
“Cy, ko nggak pengen apa pacaran?”, tanya Laura.
“Khan udah?”, jawab Cresya.
“Aduh neng…yang begituan ko bilang…? Kalian itu, nggak ada komunikasi sa ma sekali!”, tegas Laura.
“Yang pasti, belum ada kata putus khan? Tapi…, Cya dah coba tanya keluarga nya?”, bantah Arthur.
“Belum…Bukannya, aku nggak mau. Keluarganya khan nggak suka aku?”, Cresya.
“Kalo gitu, kamu nggak bisa donk langsung ambil keputusan!”, Arthur.
“Aduh genk kalo masalah itu, Bang Gitra khan ngerti sendirilah! Ini tuh, benar-benar nggak sehat! Apa coba, namanya udah tiga bulan lebih nggak ada komunikasi sama sekali. Aku berani bilang, kalain itu nggak pasangan lagi!”, Laura.
“Aku rasa, Laura ada benarnya. Bukannya aku mo bilang Bang Gitra orangnya gimana gitu. Gimanapun, dia nggak bisa mengabaikanmu seperti ini.”, tambah Dify.
“Menurutmu gimana Za? Dari tadi kamu kok diam?”, Laura ke Zora.
“Terserah Cya.”, Zora.
“Aku nggak setuju! Hal itu tidak dapat dibilang udah putus!”, tegas Arthur.
“Udahlah, nggak usah dibahas lagi! pusing aku!”, Cresya bingung.

Cresya mengikuti saran Laura. Menurutnya, Laura benar. Untuk kedua kalinya Laura mencomblangi Cresya. Cresya dikenalkan dengan sepupunya, Melvin.
Cresya, Laura & Zora di kamar Cresya. “Gimana, Cy? Kayaknya… Memang sih, aku belum begitu yakin.”, Laura. Cresya diam. Dia terlihat takut menjawab.
“Kenapa Cy? Kamu masih… Kalo memang. Udah, kamu nggak usah takut. Ngo mong aja terus terang.”, Zora menyadari ketakutan Cresya.
“Kalo memang kamu menolak, sekarang aja. Lagi pula, aku bilang khan aku be lum begitu yakin.”, Laura menguatkan.
“Tapi, aku… Maaf ya Ara? Aku… aku…”, Cresya ke Laura.
“Udahlah Cy. Aku khan hanya menyomblangi. Artinya kalian tida harus jadi.”, potong Laura…
***
Ujian semester berlalu. Mahasiswa diliburkan.
“Eh! Katanya, nilai kita dah ke luar!”, Zora di kampus.
“Oh yach? Aku juga tadi lihat beberapa alumni! Lihat nilai dulu yuk?”, Laura.
“Yuklah! Aku juga penasaran. mudah-mudahan aja…”, Cresya semangat. Kare na semangatnya, Cresya sampai salah... Dia menarik tangan seseorang yang kebetulan lewat. Dia merasa sedikit aneh. Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan perjalannya. Zora dan Laura diam saja. Mereka mengikuti Cresya di belakang. Cresya terus mengoceh sepanjang jalan.
 Cresya meloncat kegirangan. Tangannya tetap menggenggam tangan orang itu. Genggaman itu semakin kencang. Memang nilainya tidak bagus-bagus amat. Tapi, nilai itu sudah cukup bagus bagi dia yang selama ini lemah dalam belajar. “Bagus! Tadinya, aku sempat khawatir.”, kata orang itu.
Cresya terkejut. Suara yang ke luar, suara laki-laki. Dia baru menyadari kalau tangan yang dia tarik-tarik dari tadi bukan tangan Zora atau Laura. Segera Cresya melihat wajahnya. Kali ini, dia terkejut bercampur senang.
“Eh, Bang Gitra!”, Patar baru datang bersama Dify.
Cresya & Gitra langsung berpelukan, melepas rindu. Dify & Laura terimbas. Me reka juga berpelukan! Rasa senang Cresya & Gitra meluap-luap, membuat sekeliling nya dapat ikut merasakan. Kalau begitu…. Bagaimana dengan dua orang lagi yach? Eh! Zora & Arthur juga! Tidak hanya itu. Ternyata, mereka juga berpelukan! Cresya & Gitra meregangkan pelukan. Cresya, Gitra, Laura & Dify, terkejut. Mereka be ngong. Arthur & Zora tetap berpelukan erat. Arthur & Zora akhirnya sadar. Dengan se rentak mereka melepaskan pelukan. Mere ka berdua tersipu malu.
“Oh yach, Mama ngadain acara syukuran di rumah!”, Gitra mengajak semua. Cresya ragu. “Kenapa Cy?...”, Gitra heran.
“Bukannya Mama & adik-adik Abang, pada nggak suka ama aku.”, jelas Cresya.
“Siapa bilang? Kamu…”, Gitra makin bingung.
“Kemaren khan, Abang juga pernah bawa aku ke rumah. Terus waktu itu, Mama & adik-adik Abang, pada sinis ngeliat aku. Mereka juga pada cuek. Abang juga langsung nganter aku pulang…”, jelas Cresya.
“Oh, yang itu!”, Gitra terkejut. “Itu hanya salah paham. Waktu itu, suasana di ru mah lagi kacau! Waktu aku lulus SMA, Papa meninggal. Kamu dah tahu khan? (Cresya mengangguk. Papa Gitra meninggal karena kecelakaan kerja) Nenek dari Pa pa menyalahkan Mama. Nenek memang tidak cockok dengan Mama. Nenek berusaha mendapatkan hak perwalian atas kami. Pengacara Nenek menelepon ke rumah. Katanya, satu minggu setelah itu, kami semua kecuali Mama, akan diboyong ke rumah Nenek. Aku baru tahu hal itu, sesampainya di rumah. Esoknya, Paman Nico, A bang kandung Papa, langsung datang ke rumah. Berkat dia, kami semua tidak jadi di boyong. Ternyata, hanya Nenek yang bersikap ekstrim. Saudara-saudara Papa yang la in mendukung Mama.”…

Created by: Santytha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar