“Jadi, gimana Cy? Tampaknya
Dify.... Rencanamu apa lagi?”, tanya Laura, saha batnya. Mereka satu sekolah.
Mereka siswa SMA.
“Udahlah. Kayaknya kamupun
dah capek.”, Cresya lemas. Cresya menyerah.
***
Cresya & Laura masuk ke Universitas Negri yang sama
& dengan jurusan yang sama.
Gitra membawa Cresya ke
rumahnya. Gitra adalah pacar Cresya dan juga seniornya di kampus. Suasana di
rumah Gitra terasa aneh. Ketiga orang adiknya (2 laki-laki & 1 perempuan)
& Mamanya, menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Mereka tidak me nyadari
kehadiran Cresya. Entah mengapa, setelah Gitra berbicara dengan adiknya dia
segera mengantar Cresya pulang. Cresya bingung. Gitra hanya bilang, kalau semua
baik-baik saja. Cresya jangan salah paham.
***
“Huh! Gimana sih! Kok dirijek
terus!”, Gitra kesal. “Hallo?”, Gitra mendapat telepon.
“Hallo saudara Gitra? Saya
personalia perusahaan B. Kami tertarik dengan lama ran Anda. Kami sudah
berbicara dengan dosen Anda. Kami harap Anda dapat segera mengirimkan data Anda
selengkapnya.”, si penelepon...
***
“Akhirnya...”,
Cresya baru selesai mengerjakan tugas. “Hah, 7 panggilan!”, Cre sya terkejut
melihat Hp-nya yang dari tadi berada di tas. Dia melihat jam. Waktu me nunjukkan
21:55. Hp-nya berdering lagi.
“Oh...(memastikan
siapa yang menghubung i) Ya Dif?”, katanya.
“Nggak
ngganggu?”, Dify meyakinkan.
“Udahlah
langsung aja!”, Cresya bersahabat.
“Em...Kamu...”,
Dify memulai maksudnya.
“Kenapa
mau nembak aku lagi?”, tebak Cresya.
“Eng
iya...”, Dify mebenarkan.
“Aduh gimana
sih? Udah berapa kali ku bilangin. Aku tuh udah nggak ngarepin kamu lagi! Ngerti!?”,
tegas Cresya.
“Apa nggak
ada sisa-sisa perasaanmu yang kemaren ke aku??”, Dify belum yakin.
“Ok! Aku
memang nggak benci kamu. Tapi,... seminggu sesudah penolakkan mu, aku nyerah.
Lagian aku udah punya pacar. Kalo nggak percaya...?”, Cresya.
“Ok,
ok, aku percaya. Namanya Gitra khan! Kalian nggak ada tanda-tanda... I ngat,
aku selalu nunggu kamu! Kalian nggak ada tanda-tanda...Ingat lho aku selalu
nunggu kamu”, potong Dify.
“Memang
Rena udah ngomong ke aku, dia juga bilang kamu baru putus. Apa ...”
“Mereka
itu, pada mereka yang nembak. Kalau pun kalian putus ketika aku lagi jalan
dengan cewek lain. Aku pasti nerima kamu.”
“Terus
cewekmu?”
“Ya...kamu
jadi sepiaku gitu?”
“Kalo
aku nggak mau?”
“Ya...
ka lau memang itu maumu aku mutusin dia.”
“Emang
kamu bisa dipercaya?”
“E...jauh
dalam lubuk hatimu masih ada aku khan?” “Ih, gimana sih kamu ini? Perlu ku u
langi...?”
“Op,
udah, udah!”
“Tolong
donk, apa sih maumu sebenarnya? Aku dah capek nih?”, Cresya menghela dan menahan
napas.
“Ok,
ok, aku ngerti. Gini aja, a...besok kamu ada waktu?”
“Istirahat
makan siang, bisa?”
“Ok,
seklian makan siang ya? Jam berapa?”
“Terserah.
Jam satu?”
“Ok,
di kantin ya? Kali ini aku yang teraktir, deh.”
“Terserah.
Tapi...”
“Udah
ya, kamu bilang kamu udah capekkan. Ku tunggu besok. (Rinaldi langsung menutup
teleponnya)”
Cresya berbaring di tempat tidurnya. Dia hampir terlelap, dia
tersentak. “Aduh! Ya hallo?”, katanya menjawab telepon.
“Akhirnya... Cya udah
tidur?”, si penelepon.
“Oh, Bang Gitra Belum sih,
tapi tadi udah agak ketarik-tarik.”, jelas Cresya.
“Kalo gitu, besok aja ya?”,
tawar Gitra, pacar Cresya.
“Oh, nggak kok Bang. Nggak
papa. Kayaknya ada yang penting, sampe Abang bela-belain nelepon larut malam
gini?”, desak Cresya.
“Ya udah deh, barusan Abang
dapat telepon dari perusahaan B...”, kata Gitra.
***
Cresya,
Zora dan Laura datang bersama. Dify terkejut. Merekapun mengambil tempat, dan
langsung memesan makanan. Dify kelihatan gugup.
“Tenang,
BMM kok!”, Cresya.
“Ok! Langsung aja! Gimana tawaranku kemarin?”,
Dify to the point.
“Aduh
gimana sih kamu, khan udah ku bilang!”, Cresya mulai
kesal.
“Ok,
ok. E…”, Dify tak mau kalah.
“Tunggu!
Kalo kamu singgung itu lagi, aku pergi!”, Cresya bergegas.
“Op,
sabar!”, Dify mencair.
Mereka
terdiam. Akhirnya pesanan datang. “Ok, dari pada sia-sia. Gini aja, aku hanya
bisa menawarkan persahabatan! Gimana?”, Cresya juga mencair.
Dify
tak langsung menjawab. Tapi, dia sadar tampaknya keputusan Cresya su dah bulat. “Ok, aku setuju! Tapi…”, Dify mengalah.
“A..”,
Cresya hendak memotong.
“Aku
jadi anggota kalian.”, sambung Dify.
Cresya memutar
otak. “Dasar! Nggak mau kalah!”, Cresya setuju
& tersenyum.
“Hore!!!”,
Dify kegirangan.
“Tapi
ingat!…”, Cresya menegaskan.
“Ya,
ya! Kalo soal itu aku nyerah.”, lagi-lagi Dify memotong.
“Oh,
ya aku ada kabar baik nih! Tapi…”, Cresya melirik
Dify.
“Kenapa?
Aku khan anggota kalian juga!”, tegas Dify. Cresya tetap
bungkam.
“Aduh
gimana sih? tadi khan katanya SAHABAT!?”, Laura ikut mendesak.
“Ok
deh,… (kabar Gitra)”, Cresya cerita.
“Bagaimana
kalau kita mempersiapkan acara?”, Dify semangat.
“Khan
belum pasti juga!”, Cresya menegaskan.
“Oh
ya, ya!”, tambah Zora
Tert…tert…,
Hp Cresya berbunyi, “Ya Bang?”, katanya.
“Abang
baru selesai sidang nih!”, jawab Gitra.
“Oh,
ya!? Hasilnya?”, Cresya semangat.
“Ya…gitu
deh!”, Gitra
santai.
“Transkrip
nilainya?”, Cresya.
“Abang
udah nanya sih! Katanya mungkin satu minggu atau lebih. Pokoknya gi tu keluar
langsung Abang kirim.”, Gitra.
“Syukur
deh Bang!”, balas Cresya. “E…”, sambungnya.
“Tenang,
sebelum Abang ke sana
pasti Abang pamit.”, potong Gitra …
Zora
kedatangan seorang teman. “Udah selesai ngomongnya?”, katanya.
“Memang
Cresya ini kalo udah Bang Gitra aja!?”, Laura.
“O…pantes…”,
Dify baru sadar.
“Aduh,
Sori deh. Lama ya?”, Cresya malu. “Yang tadi
itu siapa?”, tanyanya.
“Oh,
dia Bang Arthur!”, jawab Zora.
“Oh….
Itu Bang Arthur!”, Laura baru tahu.
“Kok
kayaknya kalian udah akrab gitu?”, Cresya menunjuk
ke Laura & Zora.
“Dia
itu Seniorku di SMA. Dia lagi pdkt
ama junioran kita Missy. Aku ngajak Laura.”,
jelas Zora.
“Aku
kok…?”, Cresya lagi.
“Kamu
khan sama BANG-GI-TRA terus!”, potong Zora.
***
“Ada apa sih Bang, kok
kayaknya ada yang mo dikejar?”, tanya Cresya.
“Iya,
ada apa Bang?”, Dify menguatkan.
“Nilaiku
udah keluar, dan barusan difax. Sekarang ya, tinggal nunggu kabar.”, Jawab Gitra.
“Bagus
itu Bang!”, Dify semangat. Mereka asyik ngobrol. Hanya Cresya yang...
Dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Dify.
‘Apaan
sih, si Dify! Siapa lagi yang ngajak dia! Perasaan, aku nggak ada calling
dialah! Selalu aja dia ikutan!’, batin Cresya.
“Eh,
Bang Arthur!”, sapa Laura.
“Asyik
nih! Ada apa?”,
balas Arthur.
“Ini,
nih! (nunjuk Gitra)”, jawab Zora.
“Oh…,
selamat ya Bang!”, Arthur semangat.
“Bang
Arthur sendiri?”, selidik Zora.
“Biasalah…”,
Arthur nunjuk ke arah Missy.
“Oh…”,
Laura mengangguk.
“Eh,
itu khan junior kita!”, Cresya terkejut.
“Ember!”,
jawab Laura.
“Hm…”,
sekarang Cresya yang mengangguk.
Oh
yach, pasti pembaca bingung! Gitra adalah asisten dosen. Semua mahasisiwa dosen
atasannya menyenanginya. Salah satunya adalah Arthur.Dia
benar-benar pem bimbing yang baik. Obrolan berakhir. Cresya & Gitra pulang bareng,
memisahkan diri dari rombongan.
***
“Gomenassai…for
every think…Gomenassai…Apa bos?”, seperti biasa Cresya enjoy di kamar mandi dengan MP3-nya. Lagunya
terhenti.
“Pasti
kamu lagi di kamar mandi? Memang kamu ini nggak bisa dibilangin!”, Gi tra memulai ceramahnya.
“Jadi,
ceritanya aku dimarahi nich?”, Cresya manja.
“Emang
ini namanya marah? Trus kamu mandinya selalu jam segini?”, Gitra.
“Hmm!”,
Cresya hanya mendehem.
“Awas
lho, ntar masuk angin?”, sambung Gitra.
“Aduh,
Abangku inilah! Iya deh, ini yang terakhir kalinya. Tapi, kalo masalah MP3…”,
Prisi sedikit mengalah.
“Tapi
bisa khan dikurangi pelan-pelan?”, tanya Gitra.
“Hm…Abang
ini!”, Cresya menurut.
“Dasar
manja!”, Gitra.
“Tapi,
Abang suka khan?!”, Cresya manja lagi.
“See
you.”, Tutup Gitra.
“Juga.”,
Cresya.
***
Gitra menunggu Cresya. Perkuliahan selesai. “Bang!”, Cresya berbisik.
Dia lang sung menghampiri Gitra diikuti Zora,
& Laura menyusul bersama Dify.
“Sebelumnya
sori ya? Sepertinya setelah ini kita... Masih banyak yang harus diu rus. Buat
jaga-jaga, siapa tahu nggak sempat. Tapi, tenang, Abang usahakan. Khan dah
janji?”, Gitra
menjelaskan.
“Em…Ok
deh!”, Cresya tersenyum.
“Iya
khan, masih ada kami!”, Laura semangat.
“Iya
betul itu!”, Zora ikut semangat.
“Hm!!!”,
mereka semua serentak sambil mengangguk.
“Abang
pasti nelepon. Paling nggak SMSlah. Ya?”, Gitra menyadari Cresya yang masih belum bisa terima.
“He…he…he…”,
Cresya ceria kembali.
***
Gitra melaksanakan janjinya. “Tolong aku sahabatku.
Bawa aku bersama mu ten tang di…Eh, SMS!”, Cresya asyik
dengan MP3 di kamar mandi. “Aku jatuh cinta. Takdir aku hidup denganmu.
Na…na…”, sambungnya.
“Perasaan
tadi lagu sedih? Kok jadi berbunga-bunga?”, Raquel kakak Cresya. Ayah dan Ibu
tertawa.
Keluar
dari kamar mandi, “Hallo. Tapi tadi dah SMS?”, Cresya…
”Memanglah,
tadi SMS, sekarang telepon! Hm…?”, Raquel menggeleng.
Cresya
& keluarga (Papa, Mama, dan Raquel) sering makan malam bersama di rumah.
Mereka asyik mengobrol tentang Gitra…
Gitra sudah mendapat konfirmasi dan hari ini dia
akan berangkat. Cresya, Laura, Zora, serta Arthur dan Missy
mengantarkannya.
***
Selesai
libur semester. “Kok kamu kelihatan aneh? Ada
apa yach? Apa yang berubah, yach?”, sapa Zora.
“Hp-ku!”,
Cresya ketus.
“Oh
ya,ya! Biasanya kupingmu penuh dengan wayar-wayar!”, Zora.
“Hp-ku
jatuh, hancur berkeping-keping di kamar mandi!”, jelas Cresya.
“Nggak
diservis?”, tanya Zora.
“Udah.
Katanya, udah hen karena MP3-nya
keseringan dipake.”, Cresya.
“Nggak
diganti…?”, Zora lagi.
“IP-ku
jatuh!”, tambah Cresya.
“Bang
Gitra?”, Zora.
“Semenjak
positif diterima, nggak ada kabar berita darinya. Apa lagi sekarang! Mau ngubungi
ke mana dia! Udah lebih empat bulanan gitu.”, Cresya.
“Hai
genk !”, sapa
Dify.
“Coba
dari Hpku! Nah! Ingat khan nomornya?”, tawar Zora. Cresya menurut. Nomor Gitra tidak bisa dihubungi. Cresya
lemas. “Sudahlah! Mungkin Bang Gitra me mang lagi sibuk, ato apa… gitu!
Mungkin... Apa lagi, Hp-mu hilang? Seperti yang ka mu bilang mau ngubungi ke
mana dia? Sabar aja dulu, ya?”, hibur Zora.
“Makasih
yach, Za?”, Cresya.
“Eh,
ada apa nih?”, Laura baru datang.
“Iya,
apaan sich?”, sambung Dify.
Zora
menceritakan semuanya. Sekali lagi mereka menghubungi Gitra. Tapi…
“Masalah
nilaimu itu, kenapa kamu nggak minta tolong ke kita?”, Dify.
“Aku
tahu. Tapi, apa kamu masih mau…?”, Cresya ragu.
“Udah
Cya. Kamu pikir aku pendendam apa?”, balas Dify.
Cresya mengikuti bimbingan Dify dengan serius. Dasar Cresya yang sudah terbi asa manja! Dify kesulitan. Semenjak itu Dify dan Cresya menjadi dekat. Dan Laura tampaknya mulai risih...
***
“Aih,
lagi-lagi tugas! Untung kelompok!”, keluh Cresya. Cresya, Dify, Jhony &
Patar mengulang. Mereka satu ke lompok. Selesai kuliah, mereka langsung nyebar
di perpus. “Gimana Dif?”, Cresya.
“Em…nggak!”,
Dify menggeleng. “Yuk ke warnet?”, ajaknya.
“Jadi
tuh, apaan?”, Cresya ke Dify yang sedang memegang sebuah buku.
“Ah,
ini cuma teorinya doank!”, Dify lagi. “Buruan!”, desaknya…
“Ayo,
semua kumpul bahan!”, kata Jhony si ketua kelompok. Semua mengum pulkannya. “Kamu Cres ?”, tanya
Jhony. Cresya menunjuk sebuah disket perlahan. Jho ny nyengir.
Dify
dan Cresya jalan bersama. “Aduh, makasih banget ya Dif! Untung aja ka mu ngajak
aku ke warnet. Kalau nggak, tahu deh!”, Prisi lega…
“He…he…teringatnya
tadi pas di perpus…?”, tanya Dify
“Habis
selama ini aku khan sentimen...”, Cresya malu-malu.
“Tapi,
tadi si Jhony itu, mesti kali!”, Dify…
“Weis,
tuh Cresya dan Dify!”, celutuk Laura.
“Ih,
biasa aja lagi!”, balas Zora.
“Hallo
semua!...(soal Jhony). Mereka juga bilang selama ini aku terlalu bergan tung
dengan Bang Gitra!”, Cresya. Arthur hanya nyengir. ‘Eh, ngapain dia ikutan ngumpul! Sok
nyengir lagi!’, batin Cresya.
“Op,
tenang-tenang bos! Dia anggota baru kita!”, Jelas Zora.
Perkara
Jhony, membuat Cresya & Dify semakin akrab. Hal itu membuat Laura sedikit
tidak nyaman.
“Mana
Laura?”, Zora ke Dify. Dify diam. “Kok, dia laen gitu sekarang?”, Zora ke
Cresya. “Lho Cresyanya…”, Zora baru sadar Cresya sudah menghilang.
“Akhirnya…”,
Cresya lega. Dari tadi dia kebelet pipis. “Eh, Laura!”, teriaknya kencang.
Refleks Laura menoleh & langkahnya terhenti. Seketika itu juga Prisi
menangkap tangannya. Cresya langsung membawanya.
Mereka
semua sudah berkumpul, sekarang tidak hanya Laura yang masam, Cre sya juga.
Arthur ikut nimbrung. Suasana menjadi aneh. Laura masam melihat Cresya. Cresya
masam melihat Arthur. Dify tersipu-sipu melirik Laura. Arthur dan Zora he ran.
Keheningan melanda.
“Kalian
kenapa seh? Kok aneh? Ada
apa nih?”, Zora memecahkan keheningan.
“Kenapa,
hasil perjuangan Dify?”, Laura agak ketus.
“Bukan…lebih
tepatnya hasil permenungan.”, jelas Dify.
“Apa
sih? Bikin penasaran aja!”, Zora penasaran.
“Dif
sekarang!”, Cresya sedikit berbisik.
“Maukah
kamu jadi pacarku…?”, Dify nembak Laura. Hening lagi…
“Em…,
sebelumnya sori ya Dif? E…aku nggak bisa jawab sekarang… Jujur aku syok?
E…bagaimana kalo dua atao tiga hari lagi? enggak deng e…”, tawar Laura.
“Em,
aku nggak maksa harus kamu jawab sekarang. Yang penting kamu jawab. Masalah
waktu, terserah kamu. Aku akan sabar nunggu sampai waktu yang kamu ra sa….
Kapanpun itu. Apapun jawabanmu. Semuanya itu benar-benar terserah kamu. Aku
harap perkataanku ini dapat membantumu menenangkan diri.”, potong Dify.
Dify merasa aneh. Dia merasa… Dify penasaran. Dia
mendatangi Laura ke ru mahnya. Ternyata dugaannya benar. Laura tidak terima
kedekatan Dify & Cresya. Dia syok. Laura berpikir... Selama Laura menjadi
mak comblang Dify & Cresya, mereka mulai saling mengenal satu sama lain.
Tanpa mereka disadari, hal itu menumbuhkan rasa ketertarikan antara mereka.
Awalnya, maksud bergabungnya Dify adalah me mang untuk mendekati Cresya. Tapi, ternyata perasaannya selama ini
terhadap Cre sya tidak lebih dari rasa penasaran. Hal ini, disadarinya setelah
kedekatan mereka da lam beberap kesempatan. Dify berhasil meyakinkan Laura. Di
luar dugaan, Laura lang sung menjawab.
“Memanglah,
gayamu itu Ra!”, celutuk Zora.
“Entah!
Ku kirain ada apa? tiba-tiba ngajak kumpul. Gayanya! Taunya…! Kok bisa? Cerita
donk? (Laura bungkam) Duh, gimana sih, nih anak?! Cepetan donk, mumpung Dify
belum datang!”, Cresya.
“Iya
Ra! Aku juga!”, tambah Zora. Laura termakan bujuk rayu mereka.
Arthur
dan Difypun tiba. “Enak yach, yang brau jadian. Aku yang baru putus ini, jadi
iri.”, goda Arthur
***
“Cy,
ko nggak pengen apa pacaran?”, tanya Laura.
“Khan
udah?”, jawab Cresya.
“Aduh
neng…yang begituan ko bilang…? Kalian itu, nggak ada komunikasi sa ma sekali!”,
tegas Laura.
“Yang
pasti, belum ada kata putus khan? Tapi…, Cya dah coba tanya keluarga nya?”,
bantah Arthur.
“Belum…Bukannya,
aku nggak mau. Keluarganya khan nggak suka aku?”, Cresya.
“Kalo
gitu, kamu nggak bisa donk langsung ambil keputusan!”, Arthur.
“Aduh
genk kalo
masalah itu, Bang Gitra khan ngerti sendirilah! Ini tuh, benar-benar nggak sehat!
Apa coba, namanya udah tiga bulan lebih nggak ada komunikasi sama sekali. Aku
berani bilang, kalain itu nggak pasangan lagi!”, Laura.
“Aku
rasa, Laura ada benarnya. Bukannya aku mo bilang Bang Gitra orangnya gimana gitu.
Gimanapun, dia nggak bisa mengabaikanmu seperti ini.”, tambah Dify.
“Menurutmu
gimana Za? Dari tadi kamu kok diam?”, Laura ke Zora.
“Terserah
Cya.”, Zora.
“Aku
nggak setuju! Hal itu tidak dapat dibilang udah putus!”, tegas Arthur.
“Udahlah,
nggak usah dibahas lagi! pusing aku!”, Cresya bingung.
Cresya
mengikuti saran Laura. Menurutnya, Laura benar. Untuk kedua kalinya Laura
mencomblangi Cresya. Cresya dikenalkan dengan sepupunya, Melvin.
Cresya,
Laura & Zora di kamar Cresya. “Gimana, Cy? Kayaknya… Memang sih, aku belum
begitu yakin.”, Laura. Cresya diam. Dia terlihat takut menjawab.
“Kenapa
Cy? Kamu masih… Kalo memang. Udah, kamu nggak usah takut. Ngo mong aja terus
terang.”, Zora menyadari ketakutan Cresya.
“Kalo
memang kamu menolak, sekarang aja. Lagi pula, aku bilang khan aku be lum begitu
yakin.”, Laura menguatkan.
“Tapi,
aku… Maaf ya Ara? Aku… aku…”, Cresya ke Laura.
“Udahlah
Cy. Aku khan hanya menyomblangi. Artinya kalian tida harus jadi.”, potong
Laura…
***
Ujian
semester berlalu. Mahasiswa diliburkan.
“Eh!
Katanya, nilai kita dah ke luar!”, Zora di kampus.
“Oh
yach? Aku juga tadi lihat beberapa alumni! Lihat nilai dulu yuk?”, Laura.
“Yuklah!
Aku juga penasaran. mudah-mudahan aja…”, Cresya semangat. Kare na semangatnya,
Cresya sampai salah... Dia menarik tangan seseorang yang kebetulan lewat. Dia
merasa sedikit aneh. Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan perjalannya. Zora
dan Laura diam saja. Mereka mengikuti Cresya di belakang. Cresya terus mengoceh
sepanjang jalan.
Cresya meloncat kegirangan. Tangannya tetap
menggenggam tangan orang itu. Genggaman itu semakin kencang. Memang nilainya
tidak bagus-bagus amat. Tapi, nilai itu sudah cukup bagus bagi dia yang selama
ini lemah dalam belajar. “Bagus! Tadinya, aku sempat khawatir.”, kata orang
itu.
Cresya
terkejut. Suara yang ke luar, suara laki-laki. Dia baru menyadari kalau tangan
yang dia tarik-tarik dari tadi bukan tangan Zora atau Laura. Segera Cresya
melihat wajahnya. Kali ini, dia terkejut bercampur senang.
“Eh,
Bang Gitra!”, Patar baru datang bersama Dify.
Cresya
& Gitra langsung berpelukan, melepas rindu. Dify & Laura terimbas. Me reka
juga berpelukan! Rasa senang Cresya & Gitra meluap-luap, membuat sekeliling
nya dapat ikut merasakan. Kalau begitu…. Bagaimana dengan dua orang lagi yach?
Eh! Zora & Arthur juga! Tidak hanya itu. Ternyata, mereka juga berpelukan!
Cresya & Gitra meregangkan pelukan. Cresya, Gitra, Laura & Dify,
terkejut. Mereka be ngong. Arthur & Zora tetap berpelukan erat. Arthur
& Zora akhirnya sadar. Dengan se rentak mereka melepaskan pelukan. Mere ka
berdua tersipu malu.
“Oh
yach, Mama ngadain acara syukuran di rumah!”, Gitra mengajak semua. Cresya
ragu. “Kenapa Cy?...”, Gitra heran.
“Bukannya
Mama & adik-adik Abang, pada nggak suka ama aku.”, jelas Cresya.
“Siapa
bilang? Kamu…”, Gitra makin bingung.
“Kemaren
khan, Abang juga pernah bawa aku ke rumah. Terus waktu itu, Mama &
adik-adik Abang, pada sinis ngeliat aku. Mereka juga pada cuek. Abang juga
langsung nganter aku pulang…”, jelas Cresya.
“Oh,
yang itu!”, Gitra terkejut. “Itu hanya salah paham. Waktu itu, suasana di ru mah
lagi kacau! Waktu aku lulus SMA, Papa meninggal. Kamu dah tahu khan? (Cresya
mengangguk. Papa Gitra meninggal karena kecelakaan kerja) Nenek dari Pa pa
menyalahkan Mama. Nenek memang tidak cockok dengan Mama. Nenek berusaha
mendapatkan hak perwalian atas kami. Pengacara Nenek menelepon ke rumah.
Katanya, satu minggu setelah itu, kami semua kecuali Mama, akan diboyong ke
rumah Nenek. Aku baru tahu hal itu, sesampainya di rumah. Esoknya, Paman Nico, A
bang kandung Papa, langsung datang ke rumah. Berkat dia, kami semua tidak jadi
di boyong. Ternyata, hanya Nenek yang bersikap ekstrim. Saudara-saudara Papa
yang la in mendukung Mama.”…
Created by: Santytha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar