Senin, 12 Agustus 2013

Rindu ku di damainya Natal


“Mana Sita, genk?”, tanyaku ke Mily. “Tuch!”, jawabnya. “Kata kak Matta, kita Berdua baca puisi.”, ceritaku ke Sita. Selama ini aku sama sekali belum ada pengalaman dalam hal perpuisian. Aku juga kurang begitu tertarik dengan yang namanya puisi. Aku menyadari keadaanku itu, karenanya aku meinta bimbingan dari Sita. Minat Sita dalam perpuisian kebalikan dariku. Dia tidak hanya bisa membuat puisi, tapi juga dapat membaca puisi dengan penghayatan yang cukup membuat orang merinding mendengarnya. “Ok! Tapi Grace harus mengikuti gayaku!” “Beres! (senyum)”
Berkisar 1 minggu lagi, mid-test. Kami membaca puisi berantai yang menceritakan kehebohan setiap bulannya selama setahun ini. Aku memilih bulan sepuluh. Personil puisi sudah hampir terkumpul. “Hallo, Grace?” “Ya, apa Van?” “Bisanya kapan?” “Emm…kapan yach? Oh yach, sabtu bulan depan gimana?” “Boleh., jam satu di toko buku jalan Gajah mada ya?” “Ok, bos!”
“Grace, puisinya diganti.”, tegur Kak Mata. “Pesertanya hanya dua atau tiga orang. Calon dari kita Grace & Dean, dan kalianpun masih dipilih. Tapi, mungkin juga kalian dua kepilih. Udah ada satu orang yang pasti. Dia anak teknik, dia juga mengambil alih masalah ini.”, lanjutnya. “Sita?” “Dia tor-tor. Tapi, Grace jangan terlalu berharap dulu.” “Asal ada makanan aza, kak! (senyum)”, aku & Kak Matta tertawa. Mendengar ini, Sita tampak tidak terima. Tapi, untunglah Sita mau mengerti.
***
 “Ok! Semuanya udah hadir. Kemaren khan aku nggak ikut. Tau nggak aku ngapa in?”, ceritaku. “Tunggu! Pasti…”, potong Mily. “Oh…Tau-tau. Kapan makan-makan nya?”, sambung mereka bersamaan. “Tenang. Katanya dia datang natal. Ngerti khan?” “Deal!”, teriak Naya. “Ya, ya!”, sambung mereka bersahutan.
Libur Lebaran selama 2 minggu kami vacum. Kira-kira ½ jam aku menunggu, Niwi datang. Lalu, aku menjumpai Kak Matta. Aku dipertemukan dengan calon partnerku. Me reka sudah lama datang! Sebelumnya aku pernah melihat mereka beredar di kampus ketika latihan. Aku terkejut melihat salah satunya. Aku sangat familiar dengan wajahnya. Dia membangkitkan amarahku. Kami berkenalan. Ternyata dia…, namanya Divo. Ya, am pun! Kok bisa, yach!? Tanpa sadar mataku terbelalak. Bagaimana ini, kalau…? Kak Mat ta memberi sedikit penjelasan, lalu pergi. “Ok, kalo begitu tunggu bentar!”, pinta Divo. “Minta kertasnyalah?”, sambungnya. “Aduh, nggak bawa.”, jawab ku. “Pulpen!” “Aih, ju ga...(senyum)” “Hm…! (sedikit kesal)”. Diapun membuka tas, lalu menuliskan puisinya. Puisinya berjudul, ‘Rinduku di damainya Natal’. Sepuluh menit kemudian dia menyeleksi kami. Dimulai dari Dean. Begitu Dean selesai, dia memberi beberapa komentar. Sama halnya denganku. “Ok! Kita baca puisi ini beti ga.”, Divo mengumumkan. Akupun tersenyum lega. Aku menawarkan diri mengetikkan nya. “Aku mau, besok puisinya udah ada sama kita betiga!” “M… bisa!” “Eh, tapi besok aku kuliah ampe jam 6 sore. Jadi, besok kita nggak latihan. Titip aja ke temenku. Tau khan ? Bisa?” “Oh yach, aku juga besok ampe jam 17:30”, Dean berkata. “Ya, ya bisa. (mengangguk)”, tegasku. Divo mengajak ngobrol santai. Kami bertukar nomor. Setiap ka li aku mengingatnya, wajah Pibi kembali terbayang. Aku jadi kesal dibuatnya. Aku beru saha mengingat wajah Divo, tapi tetap tidak bisa! Dasar sial!
Aku bersama Sita menunggu Dean, tapi perutku sudah terasa… “Eh, itu Dira?”, Sita berkata. “Oh yach!” Syukurlah, Dira bersedia membantu. “Pulang bareng, ya?”, ajak Sita. Kami pergi makan siang. “Grace, yang puisi hanya Divo & Grace.”, sapa Kak Matta di kampus. “Hah! Dean, kak?” “Gimana yach? Dia khan paduan suara.” “Perasaan, kami sa ma rusaknyalah, kak!” “Gini lho dek, dia itu sama sekali nggak bisa.”, jelasnya. Aku ma sih tidak mengerti. “Gimana ya? Memang sih, tapi Grace masih bisa diarahkan.”, sam bungnya. Aku nggak terima! Aku syok! Bagaimana ini?!! Tunggu, paling tidak hari ini... Hm…Menunggu Sita latihan nari, aku menontonnya. Tiba-tiba, “Ayo, ayo rapat!”, ajak Nero. Latihanpun terhenti. Tak lama, Divo datang. Ku lihat jam, pukul 17:30. Aduh, mati aku! Pasti! Selesai rapat Divo menjumpai ku. Tuch khan! Kami jalan berdua mencari ruangan nganggur. Kami kembali ke ruang rapat. Divo mulai melatih ku. Sesekali Kak Matta mengecek kami. Selama Divo bicara, aku kebanyakan menunduk. Hari semakin gelap, lampu tidak bisa menyala. “Aduh, gelap!”, keluhku. “Em…sini. (mengajak ke depan pintu)”. Kami berdua duduk semakin dekat. Baru sekali membaca, “Udah dulu yach? Nggak kelihatan.”, keluh ku lagi. “Ok! Sekali lagi. Yang terakhir.” Latihan hari ini selesai. “Terima kasih.”, ucapku, setulus hati. Dia hanya diam, sok cool.
Kami berkeliling lagi. Akhirnya dia memilih ruangan lantai satu. Tak lama, Lia se kertaris kami datang. Lia duduk di sampingku. Lalu, satu persatu anak tehnik berdata ngan, mulai mengganggu. “Divo, I love u (usil)”, celutuk salah satunya. Divo mulai kewa lahan. Tapi, aku tetap menunduk. Divo bingung. Akhirnya, “Ya udah, hari ini cukup. Ta pi tolong yach, pelajari di rumah!”, katanya mengakhir latihan hari ini. Aku hanya meng angguk. Divo bingung. Latihan hari ini sangat buruk. Aku sama sekali tidak bisa!
***
Kitika masa persiapan SPMB, aku berkenalan dengan seorang cowok. Setelah bebrapa lama proses pdkt, dia mengalami kecelakaan yang mengharuskan dia istrahat selama beberapa waktu. Dia tidak sabar sampai dia diperbolehkan kembali beraktivitas seperti biasanya. Akhirnya dia nembak aku dari telepon. Aku tidak langsung menanggapinya. Aku memintanya untuk bersabar sampai dia pulih, baru kami akan membahasnya. Tapi dia terus mendesak. Akhirnya aku mengalah. Sehari sebelum aku menjawab, dia mengaku sudah punya pacar. Melihat caranya yang seperti itu, aku sungguh merasa tidak senang. Baru kenal saja dia sudah berani seperti ini. Jangankan untuk diajdikan pacarnya untuk berteman dengannya saja aku berpikir seratus kali. Aku sama sekali tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tapi, dia berkali-kali menawarkan persahabatan kepada ku. Berkali-kali juga aku mengkick dan menolaknya. Dialah Karel.
“Kok bisa ya, Namanya Karel, sementara yang ini Divo. Dia tinggal di Deli Tua, yang ini tinggal di Padang Bulan.”, cerita ku ke semua. “Mungkin benar, Riv? Tapi, namanya jelas beda, yach!”, Dinda berkata. Sementara yang lain hanya terkejut. Kami satu genk ada 8 orang. Aku & Dinda saling memanggil Rival, Dinda & Mave, Turi/ Kesturi. Kadang aku memanggil Mave, Ridu. Mily kadang memanggil Mave, Ridu/ Turi/ Kesturi. Mily kami panggil Karu. Valin dipanggil Chan, Nanik dipanggil F-se, Sita dipanggil Yumeina, Naya dipanggil Rusi.  Kalau lagi kesel mereka suka memanggilku ‘Oneng!’. Kelompok kami bernama Agatha.
Ada kata-kata dalam puisinya membuatku merasa… yaitu, ‘anak-anak kami’. Tita sepupuku, tertawa kalau aku mengucapkannya. Sore ini aku latihan lagi. Meskipun Divo sudah kawalahan, dia terus memotifasi ku. Aku jadi teringat dengan pelatih vokalku. Aku jadi kesal sendiri! Aku disuruh mengucapkan alfabet, untuk melatih kejelasan pelafalan ku. Menurut Kak Matta itu tidak perlu. Aku tidak peduli, yang penting aku bisa! Setelah berulang kali, aku mulai dapat menjiwa menurutnya. Diapun bersemangat kembali. Begi tu juga aku. “Bagus! Berarti Grace sudah berlatih. Pertahankan, OK!” Aku hanya menun duk, takut... “Ok, Terima kasih.” “Sama-sama.” “Gimana menurutmu puisinya?...Ba gus?” Aduh! Mati aku! Aku harus jawab apa? Aku merasa tidak pantas. Ini pertama kali nya bagiku. Tampaknya dia sangat menantikannya. Lalu jawabku, “Ya…bagus. Kata-ka tanya tampak penuh makna.” Aku tak mau kalah semangat! Aku meminta Sita & Kak Matta untuk membimbing ku.
“Ok! N’tar kita baca puisinya bedua.”, katanya. “Hah!”, teriakku spontan. “Yah, bacalah!”, pintanya. Ternyata benar! “Aduh! Kok? Tapi kemaren bagus? (Lagi-lagi aku diam menunduk) Coba n’tar bi lang ke Matta nyariin 1 lagi.”, Divo mencoba sabar. Aku sedikit lega. Aku tidak tahu mengapa bisa, padahal aku sungguh-sungguh.
Ku ceritakan setiap latihanku ke Agatha. “Kok bisa yach, dia tetap sabar gitu?”, reaksi Mave. “Tau!” “Oh yach, jangan lupa promo sikan aku? Ato aku jadi pengganti mu?” “Enak aja! Aku sudah susah payah begini!” “Ta pi, yang satu lagi bisa khan?” “M…aku usahain deh. Tapi besok Mave latihanlah!” Mave anggota drama. Dia memerankan seorang gadis dewasa yang sabar dan baik hati.
Aku & Mave menyebut Divo dengan kita. Kali ini, beberapa temannya ikut. Mung kin dia cerita, akhirnya mereka ikut bingung. Aku sudah berulang kali diajari. Mereka mu lai tak sabar, akibatnya aku ditatar beramai-ramai oleh mereka. Jujur, pada saat itu aku merasa biasa saja. Tapi kalau ku ingat lagi, aku nggak menyangka aku bisa tahan. Sebe narnya, Sita juga melihat kejadian itu, tapi dia hanya diam saja. Aku mengerti itu.
Beberapa kali latihan, Divo selalu mengajakku. Aku bukannya tidak mau, tapi... Di vo sudah datang. Dia mengajakku lagi. Aku tetap sama. Divo sudah kehabisan akal. Kak Matta mengetahui masalah ini, diapun mendampingi kami. Mereka mendengarkan ku. Di vo hanya menunjukkan wajah bingung. “Bagaimana? Aku perlu ikut? Ku dengar nyari sa tu lagi, yach?”, Kak Matta berkata. “M…n’tar aja. Dia hanya belum panas. Kemaren bi sa! Tapi, cari aja satu lagi.”, jawab Divo.
***
Karena hari ini rapat, Dinda & Naya datang. Aku menunggu Divo bersama mereka. Kira-kira pukul 16:30, Divo datang. Rapat tak kunjung mulai, jadi pukul 17:00, Dinda & Naya cabut. Kali ini Divo tidak mengajakku. Besoknya juga. Aku mengerti, mungkin… Kebolehannya, tak diragukan lagi. Malamnya, aku mencoba meng-sms Lia. Tapi hasil nya, nihil! Sudah 3 hari kami vacum lagi. Aku bertekad mengajak Divo. Pagi hari di kam pus, “Aduh Grace sorry yach? Ku kirain siapa? Gimana kalo…? Aku khan nggak enak.”, tegur Lia. “Iya, aku juga baru sadar waktu udah terkirim. Aku ngerti kok.” “Gimana?” A ku tersenyum lirih.  Pukul 17:00, Divo masih belum datang. “Temenin aku ke PU?”, pin ta Sita. “Aduh, gimana ya?” “Divo belum datang khan?” “Em em…” “N’tar kalau dia da tang, pasti nunggu.” “Ayolah!.” Sekembaliku, “Grace!”, panggil Kak Matta. “Yup!” “Ka lian kok nggak pernah latihan?” “Em…(nunduk)” “Ajaklah dia dek? Khan kamu yang bu tuh.” “Aduh, sekarang aku juga lagi nyari, kak!” “Tadi, sepertinya dia di sana. (menunjuk ke arah Lia yang sedang berkumpul dengan anak tehnik lainnya)” segera aku menghampi ri Lia. “Lia, lihat Divo?” “Aduh! Tadi sich, dia memang di sini.” Alhasil, sampai Sita sele sai latihan, aku hanya bengong.
Hari ini apapun yang terjadi, aku harus latihan. Bersama Mave & Sita, aku nong krong di kampus. Tak lama Divo datang. Tanpa ragu aku menyapanya, “Kita latihan?” “Em…, n’tar lagi yach? Aku capek.” “Terserah. (pasrah)” Wah! Aku merasa Pibi tidak mengusik lagi. Mengapa aku tidak dari dulu, yach? Kelihatannya Divo tergolong orang yang super sibuk “Em…besok kita latihan?” “Iya… ya…datang aja besok!...” “Kenapa, nggak bisa?” “Nggak kok. Bisa, bisa!” …Entah mengapa hari ini aku semangat sekali lati han. Semua sudah pada latihan, aku sendiri menunggu pasanganku. Tiba-tiba Lia datang menghampiriku, “Nunggu Divo?”. Aku hanya tersenyum. Kami terdiam sejenak. “Em… Kalo Grace suka sama cowok, truz cowok itu juga. Tapi dia diam aza.”, tanya Lia ragu-ra gu. “Coba berteman dulu.” “Masalah temenan sich, udah!” “Ceritanya curhat nich?...Sia pa?” “Em…” “Aku kenal dia? Kami pernah ngomongan?” “Bukan pernah lagi! Sering pun!” “…(Heran) Divo? (berbisik)” “Iya.” “Oh…” “Tapi Grace nggak usah apa…gitu! A ku nggak ada maksud apa-apa kok. Kalo Grace… Nggak papa. Mari kita bersaing secara sehat.” “Ha…ha…ha…(sedikit berteriak) Lia nggak usah khawatir. Aku nggak kok! Lia tahu dari mana” “Kak Matta yang bilang ke aku. Kemaren juga kami pernah pulang bareng. Memang sich, nggak bedua. Rame-rame gitulah.” “Bukan apa-apa. Dia itu mirip dengan cowok yang pernah nembak aku. Tapi, sehari sebelum ku jawab dia mengaku udah punya cewek. Langsung ku putuskan hubungan. Setelah itu dia sempat menghubungi beberapa kali. Setiap kali juga aku cetus. Beberapa bulan kemudian, tepatnya natal kita tahun lalu dia bersama temannya datang ke rumah. Aku tidak mengusirnya, tapi aku membiarkan mereka duduk di luar. Aku menanyakan apa maksud kedatangannya, tapi dia tidak menjawab. Satu lagi aku tidak menyuguhkan minuman, sampai akhirnya dia memintanya. Itupun aku hanya menyuguhkan segelas air putih. Sempat aku menyuruh mereka pulang mengingat rumahnya yang tergolong jauh. Tapi dia katakan, sebentar lagi. Begitu mereka memutuskan untuk pulang, aku langsung bilang ‘Oh! Baguslah! Selamat pulang yac?’. Aku tidak menghantarkan kepulangnnya aku langsung masuk ke rumah.” “Oh…kurang ajar banget tuh cowok. Tapi Grace mantep juga? Pake nggak dikasih minum segala. Truz disuruh duduk di luar lagi!” “Nah, Lia udah ngerti khan.” “Gimana kalo…Tapi! Namanya beda yach?” “Udah, aku nggak mau membahas itu lagi. Aku takut itu akan mempengaruhiku.” “Ok dech!”
Besoknya juga sama. Aku sich sabar-sabar aja. “Aduh gimana sich kawan itu. Kasih an Grace kelamaan nunggu.”, keluh Mave. Aku hanya diam. “Grace nggak tahu nomor nya?” “Tahu sich, tapi…” Mave tak sabar, dia pergi mencari tahu. “Nomor mana yang Grace punya? Katanya nomornya ada dua.” “Bukan 2 Mave, tapi banyak! Nah! (menun jukkan catatan nomor yang ku dapat dari Lia)” “Yah!” “Grace, mana Divo?”, tanya Kak  Matta. “Tidak terdeteksi, kak!” “Hubungi, Kek!?” “Hubungi ke mana, kak? Nggak ada yang mau ngasih tahu nomornya!” Aku mencoba tetap sabar. Akhirnya, aku uring-uring an sendiri di kampus. “Udahlah, gimana kali sich, hebatnya dia?”, Dinda mulai kesal. “Grace merepet-repet sama kami bisa! Dia kok nggak bisa!?”, ungkap Mave. “Kenapa, ja im?”, tegas Dinda. “Nggak apa kalo aku ngamuk?”, tanyaku. “Nah, gitu kek dari kema rin!”, Mave mulai lega. “Temenin, yach?”, pintaku.
Sekali lagi aku menunggu Divo datang bersama Mave. Kira-kira, apa yang akan ku katakan yach? “Itu, tuh!”, Mave berkata. Divo mendatangi kami. “Apanya maksud mu?! Parah! Kalo nggak bisa ato kalo nggak mau nelepon, khan bisa titip pesan. Udah dihu bungi yang susahan.”, tanpa ragu aku menyerangnya. “Oh, kau! (suara pelan, sok cool)” “Macam artis aja, kau yach?! Aku juga artis, tapi nggak segitunya lah.” “Oh! Jadi cerita nya aku dimarahi nih? (tetap sok cool)” “Gimana, cocok nggak marahku? (berbisik)”, ta nyaku kepada Mave. Jawab Mave, “Lebih keras lagi! (berbisik) Eh, aku dipanggil tuch! (sedikit teriak)” Sepeninggal Mave aku diam, mencoba menahan emosi. Di tengah kehe ningan, Data tiba-tiba nimbrung. Mereka asyik ngobrol. “Mau? Lagi promosi nich!”, ta warnya. “Ntar ganti lagi!?”, masih kesal. “Tenang, ini untuk seminggu.” “Berapa?” “Nich! (memperlihatkan kartu perdananya)” Cepat-cepat aku menyalinnya ke Hp. “Dah?” “Udah!” “Miss call-lah!” “Udah?” “Dah, dah (mengangguk)” “Teringatnya, ini HP Papaku. Sebenarnya, sudah lama aku disuruh bawa. Tapi aku nggak mau, ku pikir ti dak perlu. Aku bawa ini, demi kamu!” “Yah, berarti nggak bisa ng-sms yang mesra-mes ralah yach?” Aku hanya mencibirkan mulutku.
***
Memasuki minggu hari-H. Aku dengan sabar menunggu Divo. Aku duduk sendiri di teras kampus. Lagi-lagi, Divo bak artis terkenal. Yang banyak tugaslah, paraktikumlah, ada saja alasannya! Dia selalu membatalkan latihan di tengah jalan. Dipikirnya walaupun anak sastra nggak punya tugas apa!? Khan sama-sama anak sekola? Lia menghampiriku, kami ngobrol sebentar. Hari ini aku merasa tidak enak badan. Badanku terasa meriang. A ku sempat pulang ke rumah, istrahat sebentar. Tadinya aku tidak mau datang. Tapi…Pu kul 16:30, Divo tak kunjung datang. Langsung ku ambil HP. ‘Divo, qt lat ga? Aq lg ga e nak bdn. Klo mmg ga bisa, blg cpt!’, ku kirim ke Divo. ‘Ni Divo, sory fren hr ini qt ga lat. Aq lg ga enak badan nich.’, balasnya. Aku marah sekali, aku jadi bingung. Langsung aku permisi pulang. Kira-kira pukul 18:30, selesai mandi. Merasa sudah tenang, ku ambil HP, ‘Divo, seriuslah. Klo mnrt u, qt ga cck duo ato u mo duo ama y lain? Tsrah! Klo gini cr u aq ga tau lg. Aq mplh mundur!’, balasku. Sms terkirim. Tak berapa lama HP berde ring. “Nah, dia nelepon.”, Tita berkata. “Hallo.” “Hallo Grace. Jangan gitulah. Kok  ma rah sich? Kok jadi salah paham gini?” “Habis suka-sukamu ajapun!” “Aduh. Khan udah ku bilang kita nggak latihan.” “Tau nggak aku ini beneran sakit.” “Ya udah. Aku juga khan sakit, jadi kita sama.” “Em…!” “Ya udah dech. Besok kita latihan yach? Lagian ting gal beberapa hari lagi.”, Divo berusaha membujukku. Aku merasa dibodohi! Rasa marah masih menguasaiku. Aku hanya bergumam membalas teleponnya. Merasa tidak tahu lagi mau bicara apa, langsung ku tutup teleponnya.
Sebelum berangkat, ku sempatkan melihat Hp. Ada sms masuk. Ich, bisa-bisanya di a nulis kayak gini! “Mave!”, teriakku. “Ada apa say?” “Gini Ve…(kejadian tadi malam)” “Coba lihat smsnya!” “Nih smsnya, ‘ini hy mslh slh phm doank. Ok, aq y slh. Hr ini qt lat, ok! Ntar di kampus qt bic dgn pkran y jernih.’” “Coba lihat sekali lagi!” “Nggak usah terlalu dihayati!” “Nggak. Heran aja, cowok macam dia bisa nulis kayak gini. Aku bener an nggak nyangka.” “Gimana, datang aja aku ntar?” “Ya…terserah!” “Mm…aku titip pe san ajalah yah Ve” “Gimana?” “Bilang…Ngerti?” “Ya, ya.”
“Pagi Mave. Gimana?” “Ah, gimanamya? Grace bilang tunggu dia nanya. Tapi se malam Lia yang ngomong.” “Oh yach, aku juga titip ama Lia. Memang seh aku nggak bi lang nunggu ditanya” “Semalam dia cepat datang. Jam 4 kurang dia udah datang.” “Apa dibilangnya ama Lia?” “Mana aku tahu! Aku khan latihan!” “Hallo, Grace?”, Sapa Lia. “Hallo juga.” “Sinilah!” “Gimana semalam?” “Grace, mundur yach?” “Nggak ah! Emang apa dibilangnya?” “Nggak dia nawarin aku jadi penggantimu.” “Oh! Lia bilang apa? Mau donk! (mulai senyum)” “Pengennya! Aku khan sekertaris, nggak bisa.’” “Oh yach, ya.” “Truz?” “Aku langsung bilang, Grace nggak bisa datang. Dia juga nanya ‘Si Grace marah yach?’ Ku bilang ‘Dia nggak marah kok. Dia kesel tiap hari terus pulang malam, hanya gara-gara nungguin Divo. Katanya besok dia bisa.’” “Ya, ya bagus.” “Oh yach, dia juga bilang hari ini kalian latihan.” “Ok dech! Doumo.[*]” “Kembali”
Aku menunggu Divo bersama Lia. Akhirnya Divo datang juga. Dia menghampiri. “Ntar lagi, yach? Aku capek.” “Terserah.” “Teringatnya, kemaren kok main putus aja?” “Ya...” Mati aku! Ngapain lagi dia nanya itu di depan Lia? Untung suaranya pelan. Aku khan nggak cerita ke Lia kalo Divo pake acara telepon. Untungnya Divo tidak melanjut kan. “M…Latihan yuk? Di sini aja yach?” “Oh yach, teringatnya kemaren terakhir kita jumpa, teksku nggak ada sama mu?” “Nggak! Kenapa teksmu hilang.” “Ntah! Aku juga nggak tahu ke mana. Aku baru sadar semalam. Ku pikir mungkin terbawamu. Nggak ada yach?” “Nggak. Ya, udah nah, copylah?” “Nggak usahlah. Ntar aja ku print aja lagi di ru mah”. “Dah? Latihan yuk? Nah, copylah!” “Nggak usah.” Selama kami latihan Lia mene mani. “Dah! Udah bagus kok! Yang penting nanti PD aja.” “Beres bos! (mengangguk)”
Dalam kepanitiaan Mave adalah sie dekorasi. Mereka akan membuat tirai dari origa mi. Menunggu yang lain datang, aku membantunya. Mave akan latihan jadi kegiatan ka mi terhenti. Kira-kira 5 menit kemudian Divo datang. Kami latihan di tempat yang sama. Yaitu, di pelataran gedung TO (Teater O). “Oh yach, teksku tinggal. Teksmulah.”, Divo berkata. “Tunggu! (merogo tas)” “Nggak ada?” “Oh, ada, ada.” “Bener khan nggak bawa. (sembari merogo tasnya)” Sekali lagi kami latihan dengan satu teks.
Hari ini, hari terakhir latihan. Lia disibukkan dengan kertas acara yang salah cetak. Mengingat waktu yang sudah tidak keburu & biaya, dia memperbaikinya secara manual. Semua pada sibuk. Hanya aku yang mebantu Lia. Di tengan kesibukan kami, Divo da tang. “Yuk?” “Bentar yach?”. Divo tampak gelisah. Dia terus mengeluh. “Aduh…bentar yach? Masih banyak lagi nich?”, Lia merasa nggak enak. “Sabar yach? N’tar lagi, yach? Kasihan dia.” Divo tak henti-hentinya gelisah. “Ya udah dech. Makasih ya, Grace?” “Em …sorri yach? Nggak papa?” “Nggak. (senyum)”. Satu pesannya yang selalu terucap sela ma 3 hari belakangan ‘Yang penting PD aja. Nggak usah gerogi.’
***
Wah-wah…nggak terasa, akhirnya hari yang dinanti telah tiba. Kebanyakan anak sastra tidak kuliah. Kalau tehnik, selain panitia inti banyak yang masuk. Kebanyakan dari mereka tidak bisa absen. Pagi ini kami berkumpul di gelanggang mahasiswa (gema). De korasi hampir selesai, barulah kami memulai general repetisi (GR).
Kami berdelapan berdandan. Aku, Tita, Mily & Sita serta Ranya adiknya, berangkat sama. Kami diantar papa. Malam itu, hujan turun. Di gema sudah ada yang menyambut kami dengan payung di tangan. Tak berapa lama Valin datang, disusul dengan Nanik. Ka sihan nasib Dinda & Naya, mereka kehujanan. Kami ber-8 sudah ber kumpul. “Wah Grace, Divo keren banget. Kalian dua pasangan yang serasi. Kompakan pula pakai kos tum biru-biru. Janjian, yach?”, komentar Mave melihat Divo yang ternyata dari tadi su dah berdiri di sudut teras gema. Aku hanya mencibirkan bibir.
“Grace, dicari Divo.”, tegur salah seorang anak tehnik. “Mana?” “Tuch!”. Akupun menjumpainya. Kami saling mendatangi. “Grace, kamu cantik banget… (gayanya sok malu) (sekarang aku yang sok cool) Mana teksnya? (tanpa berkata-kata langsung ku beri kan teksnya) Nanti kita duduk agak di depan di sudut kiri. Truz kita latihan sambil nung gu giliran kita. Ntar kita masuk dari kiri dan keluar dari kanan. Ngerti?” “Iya! (agar tidak salah paham, aku menegaskan) Jadi, kita duduk sama di depan sini. (menunjuk arah yang dimaksud)” Belum selesai aku berbicara, temenku mengajakku masuk. Karenanya “Ya duluan aja. Lagian aku nggak bisa barengan kalian.”, kataku. Aku melanjutkan penegasan ku “Truz, kita masuk dari situ keluar dari situ (menunjuk arah yang dimaksud). Itu aja khan?” “Ya, ya. Masuklah temenmu udah nunggu.”
Aku masuk menuju tempat yang kami sepakati. Kak Matta datang menghampiriku, “Grace, dipanggil Divo?” “Apa lagi, kak!? (merasa tidak nyaman dengan sepatuku)” “Grace udah jumpa ama Divo?” “Udah.” “Oh, ya udahlah.”… Dari sudut kanan ku yang tergolong jauh, terlihat Kak Ota. Dia berbicara dengan gerakan bibir dengan ku. “Divo” (menunjuk ke belakang), katanya. Aku langsung menuju ke belakang dengan gaya sedikit kesal. Begitu di belakang Divo sudah menanti ku. “Lama kali kau Grace? (gaya sedikit menggoda)”. Karena masih kesal aku ti dak menggubrisnya. Dasar orang aneh. Padahal tadi khan tidak seperti ini. Jelas-jelas dia yang bilang duduk di depan! Kami duduk di barisan paling belakang. “Yuk, kita latihan”, ajaknya.
Acara akan dimulai, barisan prosesipun memasuki ruangan. Latihan kami terhenti. Mereka berjalan memasuki ruangan. Lia yang turut serta melirikku. “Kamu cantik banget …(mengacungkan kedua jempolku dan tersenyum)”, ucapku dengan suara pelan. Lia membalasku dengan senyuman termanisnya. “Lia cantik banget yach?”, ucapku. “Apa?”, balas Divo. “Lia cantik!”, tegasku. Lagi-lagi Divo sok cool. Aku tidak menyangka ternya ta Tian seorang etnis China, teman sekelasku datang. Sesekali dia melirikku. Dan sesekali juga aku menggodanya. Dia sedikit tercengak melihat ku. Divo tampak sedikit tidak nya man dengan tingkahku. Aku sih, cuek aja!
“Ke sana yuk? Ntar lagi giliran kita. Ingat, jangan gerogi! PD aja!”, ajaknya. Kami bergerak ke luar. Hujan gerimis. Ketika kami berjalan dari luar gedung, dengan santai dia berjalan dengan seseorang memayungi. Dia membiarkan ku sendiri. Aku nggak mau donk, kehujanan! Dasar cowok aneh! Aku hanya berdiri di teras gema. Di tengah hujan gerimis dia berhenti dan melihat ke belakang. “Grace!”, teriaknya. Aku hanya memplototinya. Lalu dengan rasa kesal aku menurutinya. Akhirnya dia sadar. Dia menyu ruh orang di sampingnya memayungiku. Kami berdiri di pintu dekat panggung. Di situ ju ga kami masih latihan. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi gelap. “Aduh, gelap, ge lap!”, keluhnya. Tak sampai 5 menit, lampu sudah menyala. Bersamaan dengan itu gilir an kami maju. Syukurlah, aku tidak demam panggung. Tapi, gawat! Sudah tiba giliranku membaca, aku lupa memposisikan microphone-nya. Segera si Egi sang MC, naik mem bantu ku, sementara aku terus membaca. Aku pikir kami belum selesai. Tapi, dia lang sung berbalik turun panggung melalui jalan yang sama. Untung refleks aku mengikuti nya. Kami kembali ke pintu dekat panggung. “Aduh…tadi kok bisa?” “Sorry…aku nggak sengaja.” “Ya udah, makasih yach. (kami berjabat tangan)” “Sama-sama” Langsung ku le pas tanganku, bergegas menjumpai Mave. Tapi tampaknya.... Aku membatalkan langkah ku. Sambil menunduk dia berkata “Ya udah.” Untuk terakhir kalinya aku berkata “Terima kasih (tersenyum)”, lalu pergi.
Berselang 1 sesi, giliran Mave. Saat Mave manggung sesekali aku melihat ke bela kang. Betapa senangnya aku! Ku lihat Revan di belakang. Beberapa kali ku lambaikan ta ngan. Akhirnya Revan melihatku. “Tunggu (gerak bibir)”, kataku. Revan mengisyaratkan OK! Sambil tersenyum. Sekembalinya Mave, aku langsung mengajaknya. Mave bingung. “Evan!”, sapaku semangat. Kebetulan beberapa bangku di sampingnya kosong, kamipun duduk. “Ini yang namanya Revan”, jelasku ke Mave. “Oh…dia, Revan yang itu khan?” “Yuk!” “Hallo Revan?” “Hallo juga.” “Kok bisa yach, Revan mau ama si Grace bocor ini?” “Gimana yach? waktu itu aku nggak sadar.”, jawab Revan. Spontan aku kecewa. “Tapi, Kalo dipikir-pikir...aku nggak nyesel kok!”, sambungnya. “Tuch khan! Baguslah kalo sadar.”, balasku. Kami ber-4 tertawa lepas. Eh, btw siapa?”, tanyaku. “Oh, dia tetang gaku. Perkenalkan namanya Geri.” Aku dan Mave berkenalan dengannya. “Eh, serius! Gi mana ceritanya seh kalian ini?.”, tanya Mave penasaran. “Oh, aku tuch ama Evan teman satu SMP & SMA. Malah pas kuliahnya hampir. Hanya saja Evan lulus di jurusan lain.”, tegasku. Rupanya Dinda dan yang lainnya sudah memperhatikan kami dari tadi. Begitu selesai acara mereka langsung berhamburan menjumpai kami. “Waduh, Grace! Kalo gini cara nya aku bisa jatuh miskin donk?” “Sabar-sabar. Khan nggak sekarang traktirnya Van? Masih ada hari esok kok.”
Oleh: Santyta
Cerita ini ku dedikasikan untuk temen ku, seniorku, semua personil Agatha (Sahabatku Lenni, Lola, Grace, Sery, Heni, Eva, dan Friska). Terima kasih telah mau bersusah payah membantuku membaca puisi sehingga akhirnya aku menyukai puisi. Terima kasih juga buat dukungan kalian semua.



[*] Dalam Bahasa jepang artinya terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar