Jumat, 23 Agustus 2013

Hujan

Begitu banyak kesedihan disertai dengan HUJAN.
Dia selalu hadir ketika hati ini rundung duka.

Ada kalanya, HUJAN menghadirkan kesedihan.
Kesedihan yang teramat sangat. Hingga membuat ku membencinya.
Jika aku punya kuasa, ingin rasanya aku membinasakannya.

Tapi..
HUJAN juga kerap kali hadir menemani suka ku.
Aku teringat saat-saat yang cukup membahagiakan dalam hidup ku.
Di mana HUJAN juga hadir waktu itu.
Kehadirannya ku rasakan tidak hanya sebagai teman semata.
Tetapi, juga sebagai penambah hikmatnya kesukaan, hingga membuat rasa ini sulit terlupakan

Aku mengrti sekarang, tidak ada yang salah pada HUJAN.
Dan, kau pun tak selayaknya ku benci dan ku takuti.

Melalui kehadiran mu, Tuhan menghampiri ku, di kala suka dan duka.
Melalui engkau juga Tuhan mencoba memberitahu ku.
Sungguh, segala yang diciptakan Tuhan baik ada nya.

Kamis, 15 Agustus 2013

Maafkan aku.

Aku percaya pada Mu.
Dengan seiring berjalannya waktu kepercayaan ku tetap bertahan hingga berakar dalam hati ku.
Aku pun mulai mengajukan permohonan-permohonan ku kepada Mu.
Satu demi satu.
Aku lihat, tidak semuanya berjalan sesuai dengan keinginan ku.
Aku pun berpikir, Kau tidak mendengarkan doa ku.
Di tengah-tengah keputusasaan ku.
Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa yang telah ku lewati.
Akal sehat ku mengatakan kepada ku.
Bahwa sesungguhnya Engkau telah/ sedang menjawab doa-doa ku.
Dalam permenungan ku, aku menyadari ada yang terlupakan oleh ku.
Aku telah melupakan permohonan ku sendiri.
Atau lebih tepatnya, aku tidak mengerti dengan apa yang ku mintakan kepada Mu.
Maafkan aku Tuhan, yang sempat menyalahkan Mu?
Aku tidak konsisten dengan doa ku sendiri.
Ternyata, Engkau telah memberikan semuanya kepada ku.
Lebih dari yang ku minta.
Aku merasa malu terhadap diri ku sendiri.
Yang dengan arogansi ku, seenaknya menyalahkan Mu.
Sekali lagi maafkan aku?

Selasa, 13 Agustus 2013

You


In the beginning, I don’t like you.
I don’t care what ever about you.
Although my brother and sister like you.
And give them attention to you seriously.
I keep don’t like you!
You are so difficult for me.

I find there are many people like you too around me.
And I live in the times wherein many people thinking they need you.
And in the actual, there is many people around the world must to know you.
I still don’t like you!

But…
I don’t know when?
You become wondering for me.
I’m getting to like you slowly.
I become knowing about you so well, one by one.
In order now, I try to make you for express myself.

Senin, 12 Agustus 2013

Salah


Wadao!!! Besok aku sudah masuk. Jantung berdebar kencang sekale…. Sangkin kencangnya, rasa-rasanya mo copot. Plese bah!!! Aku nggak mau hari pertamaku di SMA, ku lewati dengan rasa malu. Aku benar-benar baru sadar. Gimana donk?! Mana malamnya aku susah tidur lagi.
***
Untung aja, aku bisa bangun cepat. Setibanya di sekolah aku langsung ke papan pengumuman. Kurang lebih ½ jam ku pandangi papan itu, tapi…u…uhu…aku kesal. Benar-benar di luar dugaan. Nggak ada satupun nama yang aku kenal, selain namaku sendiri. Tapi aku nggak membiarin kekesalanku me nguasai. Aku liat tempat duduk nganggur dekat taman seko lah. Akupun duduk di situ. Ngaso bentar gitu! Dari situ ku la yangkan pandangan jauh ke depan sambil mengge lengkan ke pala perlahan. Pan danganku terhenti pada seorang anak pe rempuan yang sedang berjalan di sekitar lapangan se kolah tak tentu arah. Langsung aku pergi deketin dia.
“Hei! Anak baru, yach?!”, sapaku menepuk punggungnya, sok akrab.
Dia tersentak dan mandangin aku dari atas ke bawah. Lalu dia tersenyum ramah dan ngomong, “Anak baru juga khan? (nunjuk ke aku)”
Aku mengangguk dengan semangat. Dia langsung nyalam aku dan ngomong lagi “Nama ku Arneta. Kamu? Dari SMP mana? Kalo aku dari SMP T Tinggi ”
“Aku Karmel, panggil aku Kame. Aku dari SMP Medan, Emang napa? (santai)”
“Kebetulan! Berhubung aku pendatang tolong aku, yach? Kame tentu tau banyak mengenai kota Medan. Misal nih, Neta bingung tentang angkutan di sini. (ramah)”
“Apanya yang bingung? (bingung)”
“Begini, angkutan di sini banyak kali nama dan nomor nya, truz ada yang namanya sama dan nomor yang laen-laen atau sebaliknya. Neta jadi bingung, gimana sih?”
“Oke deh! Kame akan bantu sebisa Kame. Kalo masalah angkot, lama-lama juga nanti Neta terbiasa (sambil tesenyum ramah)”
Sejak saat itulah persahabatan kami di mulai. Akupun menjalani hari-hari ku di sekolah bersama Arneta dan teman-teman lainnya.
***
Hari selasa jam 7 pagi. Gitu lewat gerbang sekolah, aku berlari mendapati Neta. Neta sedang ngobrol dengan teman-te man di kelas. Tanpa ragu-ragu aku langsung nyulik dia, mem bawanya ke bangku paling belakang di sudut ruangan kelas. Dengan suara tertahan aku memulai bicaraku.
“Neta tau khan, si Reno anak kelas sebelah?”
“Ya…ya…”
“Semalam itu Neta pulang sendiri, khan. Nah, waktu itu si Reno ngomong ke aku. Dia itu NEM…BAK…A…KU…”
“Hah! (spontan) J…jadi gimana? Kame jawab apa? (gugup)”
“Belum lagi! (sedikit ketus) Untuk itu Kame ngomongin ini ke Neta. Menurut Neta gimana, neh? (mulai lembut)”
“Tinggal di Kame-nya aja. Kalo Kame suka ama Reno, nggak ada salahnya khan!?”.
Singkat cerita aku menerima Reno, dan kamipun jalan. Sekarang waktuku sudah terbagi. Aku nggak ngerti, kenapa sejak aku jalan ama Reno, Neta sepertinya…? Apa… itu perasaan aku aja kali ya? Karena penasaran, aku nanyain hal itu. Dia hanya bilang, supaya aku dapat dengan bebas ngejalani hubunganku dengan Reno. Dan aku tidak perlu khawatir kapan pun aku butuh dia, dia selalu siap. So, aku merasa aman-aman aza gitu lho.
***
Pertengahan semester ini, aku denger gosip bakal ada anak baru. Denger-denger neh dia cewek. Bu Anna wali kelas kami memasuki ruang kelas.
“Hari ini kita kedatangan teman baru, pindahan dari Bandung.”, Bu Anna mengumumkan.
“Ayo, sekarang kamu sudah bisa masuk”. Si murid baru-pun masuk. Ternyata dia seorang laki-laki! Aku dan Neta terkejut hingga membuat kami terbelalak. Seperti biasanya, dia memperkenalkan dirinya di depan kelas.
“Perkenalkan nama saya Iraz. Saya dari bandung”, dia menghentikan perkenalannya. Aku melihat ke arah Neta, dia tampak tak begitu memperhatikan perkenalan si Iraz’
“Iraz pindah, karena orang tuanya dipindahtugaskan ke sini.” Bu Anna menambahkan. “Ada pertanyaan ?”, sambungnya. Bu Anna menunggu beberapa menit. “Tampaknya, tidak ada pertanyaan lagi. Baiklah, kalau begitu perkenalannya cukup sampai disini. Oke, kita lanjutkan pelajaran kita”.
***
Si Reno Hobi banget ama basket. Akhir-akhir ini, dia keseringan latihan. Awalnya seh, aku terima-terima aza, walaupun aku sedikit…. Memang seh itu kerena timnya akan mengikuti beberapa turnamen. Sebelumnya dia udah ngomongin ini ke aku. Aku mencoba ngertiin itu.
Teng….teng….teng…. pertanda sudah waktunya pulang. Buru-buru aku ngejumpai Reno, rupanya dia masih latian. Aku bermaksud pulang bareng Neta. Dalam perjalanan mencari Neta aku dengar anak-anak bergosip. Masa, mereka bilang kalo Iraz teman lama Neta. Truz katanya lagi kalo si Iraz lagi nembak Neta. Aku jelas enggak percayalah. Hebat benar si Iraz itu baru juga satu minggu lebih di sini, udah jadi artis gitu! Kalo itu memang benar, akukan sahabatnya, masa Neta enggak ngasi tau ke aku? Aku ngedapatin Neta sedang ngobrol berdua dengan si Iraz. Aku langsung  berpikir kalo gosip itu benar. Aku pergi dengan perasaan kesal, Neta melihatku. Dia mencoba ngejar aku, tapi aku berhasil menghindarinya. Ku liat, Neta tampak kecewa. Aku benar-benar kecewa banget kenapa seh, dia nggak ngomong dulu ke aku. padahal aku dulukan…. Aku ngerasa dia nggak nganggap aku lagi. Tak lama kemudian, Reno ngedapatin aku.
“Eh, Kame kamu tau khan si Data? Itu tuh ketua kelas kalian. Ngeselin banget tau nggak seh! Begini ketika kami main, aku jadi merusak permainan gara-garanya permainanku ama dia nggak bisa nyambung. Gaya-gayanya dia kayak nggak seneng gitu ama aku. Jadinya aku habis-habisan dimarahi pelatih, deh”. Karna masih kesal aku tidak menggubrisnya. Langsung aja aku pergi.
“Hei! Kame kamu denger aku nggak sih? (sambil mengejarku, sedikit ketus)”.
Mendengar perkataannya aku jadi naik pitam, langsung aja aku berteriak, “Iya… ya….ya! Aku denger! Emang kamu mau aku bagaimanan lagi, hah!?”
“Oi, Kame! Jangan pake teriak napa!!! (emosi)”
“Udah ah! Aku udah muak! (kesal)”
“Oh… Oke!!! Kalau kamu memang udah muak, kita putus!…. Puas!!! (makin emosi)”
Aku tak kalah panas “Udahlah! Terserah kamu saja. Pergi sana!”
Renopun berlalu. Ku liat dia seperinya marah besar. Aku langsung bergegas untuk pulang.
***
Pagi ini aku maleeez banget. Mauku sih, hari ini nggak sekolah. Tapi kalo aku enggak sekolah mama pasti akan marah. Dia sudah hafal akal-akalan ku untuk tidak ke sekolah.
Selama di kelas aku terus nyuekin Neta. Waktunya istrahat. Aku langsung bergegas untuk ke luar ruangan, tapi Neta berhasil menahanku. Mau nggak mau aku harus tinggal.
Neta mencoba menjelaskan “Sebenarnya Neta ama Iraz udah lama kenal. Dia sempat sekolah di T. Tinggi di SMP yang sama dengan ku. Dia udah lama suka ama Neta, bahkan kami sempat jadian. Tapi sehari sesudah kami jadian Iraz mendapat kabar, kalo ayahnya dipindahkan ke Bandung. Seminggu sesudahnya mereka pindah. Dua hari sebelum mereka pindah kami memutuskan untuk putus. Makanya, waktu Iraz memperkenalkan diri, aku tidak begitu memperhatikannya. Aku bermaksud menceritaka hal ini ke Kame. Tapi seperti bisa Kame selalu bareng Reno. Aku tak ingin mengganggu. Kupikir hal ini tidak begitu penting, jadi ku tunda dulu niatku. Rupanya Kame keduluan tau, ditambah lagi Kame memergoki kami. Neta baru SMA ini jumpa lagi ama Iraz. Sekarang kami merasa biasa-biasa aza tuch!”
“O…o…oh… (ragu-ragu)”
“Udahlah. Yang penting Kame udah tau semuanya (Neta, nyoba ngibur aku)”
Tak lama, ngerasa udah tenang, aku ceritakan semuanya ke Neta. Aku juga minta maaf. Mendengar itu Neta kayaknya sedikit terkejut, dan tak berkomentar apa-apa. Kami pun melanjutkan persahabatan kami yang seolah-olah sudah terputus.
Teng…teng…teng…Oh, tidak! Waktu istrahat sudah habis!
“Gimana neh?” desakku ke Neta sambil memegang perut. Tanpa basa-basi Neta langsung ngasih botol minumannya. Sesungguhnya, kalo hanya itu, sih nggak cukup. Tapi… mau bagaimana lagi? Aku tak bisa mengeluh lagi.
Sambil minum, aku dengar Neta berteriak “Iraz…Iraz…”
Tak lama, kulihat di mejaku ada dua bungkus roti, langsung aku menyambarnya.
***
Sebelum pulang, aku mampir ke swalayan membeli satu paket bahan puding. Gitu nyampe di rumah aku ngajak mama membuat puding. Keesokan paginya, selesai berbenah, eh! Ternyata Mano dan kak Meta lagi sarapan puding. Untung aza, semalam aku buat pudingnya agak banyak (2 loyang). Ku potong puding di loyang yang belum tersentuh, ku masukkan ke tempat bontot, lalu ku masukkan ke dalam tasku. Gitu nyampe kelas, aku langsung ketemu Neta. Ku tarik tangannya, aku ngajak Neta nyari Reno. Nggak taunya pas di depan pintu ku liat Iraz sedang berdiri. Langsung aza ku tarik tangannya. Pas mau turun tangga Reno sudah berdiri hendak naik. Cepet-cepet aku turun menjemputnya. Kamipun berdiri dekat tangga. Ku keluarkan tempat bontotku, ku serahkan ke mereka sambil nunduk dan berkata “Maafin aku, ya…..?”
Tak lama, terdengar suara Reno “Jadi kita…baikan neh?”
“Eh! Ti…e, iya!”, terkejut, sambil meliriknya dan tersenyum.
“Udah, dong Kame! Kami betiga udah maapin kamu. Iyakan Iraz?” kata Neta nyoba ngilangin keteganganku.
“Iya! Benar kata Neta. Jadi, gimana? Kayaknya enak nih?!”, kata Iraz keliatan nggak sabar.
Perlahan ku angkat kepala ku dan mereka ngetawain aku. Aku jadi sedikit malu.
“Gitu dong!”, sambung Neta. Pudingnya kami habisin bersama.
***
Aku liat Iraz dan Neta cukup akrab……
Hari ini aku ngajak Neta pulang bareng. “Mana Reno?”, tanya Neta.
“Rencananya sih, pulang betiga. Tapi, tadi ku liat kayaknya dia latian masih lama. Jadi…. (setengha bingung)”.
Aku dan Neta Jalan ampe Simpang Adam Malik. Baruuu aja kami nyampe, tau-tau si Mano udah datang dengan mobilnya.
Dia langsung ngomel-ngomel “Ayo-ayo cepat! Nanti keburu habis. Itukan limited edition”
Di perjalanan si Mano nanya, “Emang, apan seh?”
“Ah…nanti juga ku bilangin Mano nggak bakalan ngerti! (sedikit ketus) Oh yach, kita langsung pulang aza!”
“Pulang!? Eh, nggak jadi? (spontan, agak heran)”
“Nggak usah, ah! Lagi nggak mood, neh!”
“(Mano diam sejanak) Oh….oh….nanti di rumah, yach! awas lho, kalo nggak….”
“Iya…iya! (agak marah). Tapi nanti, bantu aku lagi yach? (sedikit lembut)”.
Besoknya, ku coba cari tau. Tapi…., sepertinya tidak ada yang terjadi. Gitu jumpa Neta aku langsung ngomong, “Maap yach, kemaren itu si Mano minta tolong ke aku (sedikit memelas)”
“Ya udah nggak papa. Aku juga sempat bingung. Tapi, ya udah lah”. Aku diam sebentar kalau-kalau si Neta cerita. Tapi tampaknya, tidak terjadi apa-apa. Ku ambil kertas selembar lalu ku tulis “B”, ku kasi ke Reno. Reno tersenyum, dan meberi isyarat ok.
***
Wah, wah….. enggak terasa yach, ntar lagi natal neh! Reno dan aku kepilih jadi MC, si Neta ngisi acara (baca puisi dan bernyanyi). Sedangkan Iraz non-Kristen. Istrahat kali ini aku dan Neta nongkrong di Kantin. Tiba-tiba Iraz datang ngejutin kami dengan membawa seabrek cemilannya.
“Aku pengen banget ikutan natal. Ntah apa, gitu!”, katanya.
“Em…. Kalo drama kayaknya ada.”, jawabku sok serius.
Iraz langsung motong dengan mata yang berbinar-binar, “Emang bisa? Mau, mau. Jadi apa?”
“Em… jadi, pohon natal!”, jawab ku usil sambil tertawa kecil.
“Uh….uh….dasar Kame. Bisa aja kamu.”, balas Iraz sambil tersenyum. Kamipun tertawa.
“Lagian Iraz juga, ada-ada aja?”, balas Neta.
“Hayo! Ngomongin apa nih? Kok kayaknya senang banget?”, Reno ngejutin kami lagi. Aku ceritakan semuanya ke Reno. Reno sempat ketawa.
“Teringatnya nih, aku malas kalilah nge-MC, nanti?”, keluh Reno.
“Oh yach, kebetulan Kame juga males. Kame kirain Reno mau? Makanya…”, ungakap ku.
“Kalo gitu, sekarang aja aku bilang ke guru yach. Biar, kita sempat diganti! Oke!”.
Kami betiga nunggu Reno di kantin. Lima belas menit kemudian Reno datang lagi.
Reno ngomong dengan gaya tak bersemangat “Kame, Guru bilang iya!”
“Oh, iya! Baguslah.”, jawab ku.
“Eh kita udah mo masuk nih, ke kelas yuk.”, ajakku.
“Kalian bedua nggak ikut?”, tanyaku.
“Kalian duluan aja.”, pinta Iraz sambil menggenggam tangan Reno.
“Ya udah, kami duluan yach?”, balas ku.
Kami pulang berempat. Sepert biasa jalan ampe simpang Adam Malik, nunggu angkot.
“Eh Iraz, yang kamu bilang tadi kayaknya aku nggak bisa. Sori yach….”, Reno ngomong.
“Yah….gimana donk?”, keluh Iraz.
“Emang apaan seh?”, tanyaku.
“(Iraz menjelaskan ke aku dan Neta)….begitu.”
“Oh….oh….”, aku dan Neta serentak.
“Kami nggak janjian lho!”, eh, kami serentak lagi. Sekarang kami berempat serentak spontan ketawa.
“Udah…udah…. Sekarang hari minggu kalian betiga mau yach, nemenin aku? Truz ada nggak yang bisa minjamin aku stelan jas, hm?”, Iraz ngomong dan berusaha menghentikan ketawanya.
Lantas aku jawab, “Em….(ngeliatin Iraz dari atas ke bawah), kayaknya bisa. Tapi punya Papa, kalo punya Mano nggak mungkin. Badannya nggak sebesar kamu”
“Eh, Kame kamu nggak bohongkan. Emang…”, balas Iraz.
“Oh, yach! bener-bener! Aku udah pernah liat. Kemaren waktu aku ikut kalian kerja kelompok. Ya khan, Neta? Kalian khan (nunjuk ke aku dan Neta) satu kelompok”, potong Reno sebelum Iraz sempat nyambung omongannya.
“Iya! Reno benar! Aku baru ingat.”, Neta menegaskan.
“Ah, yang bener? Kalo gitu Papanya Kame keren dong?! Pantes anaknya….nggak cantik-cantik amat sih. Tapi nggak malu-maluin kok.”, balas Iraz.
“Uh…”, balas ku.
“Neh, satu lagi mumpung kalian mau diajak jalan-jalan, temenin aku nyari bahan tugas seni rupa yach? Sabtu ini yach jam 4 sore, selesai aku latihan. Tunggu aku di Joglo!”, ajak Reno. Aku sedikit heran, biasanya khan…. Tapi sudahlah.
“Kalo gitu aku pulang dulu dong, nanti.”, kata ku.
“Aku juga.”, kata Neta.
“Aku nggaklah. Aku nunggu aja.”, Kata Iraz.
“Ok, deh! Kita sepakat yach!”, tutup Reno.
Hari sabtu, semua berjalan sesuai rencana. Pas aku buru-buru mo pigi, kring…..kring….., telepon berdering. Entah kenapa, aku yang ngangkat? Padahal khan... “Hallo”, kata ku.
“Hallo. Kame? Aku Neta.”
“Ah, yach.”
“Aduh… gimana ya? Mama nyuruh aku ngantarkan titipan temannya. Katanya penting. Dan kalo bisa titipan itu harus segera sampai. Nggak papa yach…”
“Ya, udah.”
Aku udah nggak mo datang, tapi…. Udalah. Gitu di Joglo, ku lihat mereka (Reno & Iraz) ngobrol, lalu Reno pergi. Kami berselisih, tapi Reno tak mempedulikan aku. Aku terheran-heran sambil menjumpai Iraz untuk menghilangkan rasa penasaranku. Tak sempat aku ngomong, Iraz langsung menjelaskan, “Kata si Reno begini….. ngertikan?!”.
“Oh… ya…ya… jadi kita nunggu mereka dulu di sini. (ngangguk.)”
“Oh yach, titipan Neta Iraz bawa, khan?”
“Tentu donk, ini… Eh! nanti aja deh. Sekalian ama Neta.”
“Ya, udah!” Sudah 15 menit kami menunggu. Tapi tak ada tanda-tanda dari Reno. Iraz tampak gelisah, dan tiba-tiba tersenyum. Aku penasaran, apa seh yang dia liat? Lalu aku liat ke belakang. Pas aku liat ke belakang nggak ada apa-apa pikirku.
“Eh, ya udah deh. Kalo gitu sekarang aja lah.”, katanya.
Aku makin heran. “Apaan seh?”, tanya ku penasaran.
“Begini, sebenarnya. Maksudnya sekarang aku mo ngasi ini ke Kame.”, katanya.
“Lho, tapi katanya mo langsung aja. Kok?… (bingung)”
“Maksud ku ya… Kame mau jadi…. Pacarku?” Aku hanya tediam, nunduk nggak tau mo bilang apa mengingat statusku sekarang.
Di tengah kebingungan ku, tiba-tiba dia ngomong lagi, “Kame kita putus aja yach?”. Aku terkejut. Aku benar-benar nggak habis pikir, masa dia baru nembak langsung minta putus, mana belum ku jawab lagi. Ku tengadahkan mukaku. Rupanya! Si Reno yang ngomong, di sampingnya juga ada Neta. Aku malah tambah diam.
“Sebenarnya,  udah lama mau ku kita putus saja. Tapi aku nggak mau gara-gara putus, kita malah musuhan. Aku kirain yang selama ini ku suka Kame. Aku salah orang. Tapi satu hal lagi yang membuat ku yakin untuk mutusin Kame, waktu aku liat Kame pas kita ngomong berempat, mata Kame sesekali melirik Iraz. Tidak hanya itu sih! Hanya saja itu yang membuat ku yakin.”
“Tapikan….”, aku mencoba menyela.
Belum sempat aku siap ngomong, Reno memotong, “Udah lah Kame. Nggak usah ngebohongin diri kamu sendiri, gitu dong! Aku tau kamu sendiri nggak nyadar atau ada alasan lain. Maka aku mo nyadarin dan membuatmu yakin. Aku ngerti perasaanmu, walaupun tidak semua. Paling enggak aku bisa menghilangkan keraguanmu. Ditambah lagi ketika Iraz minta izin untuk nembak kamu. Maksudku sih, aku bilangnya waktu kita beduaan sebelum Iraz nembak Kame. Tapi, kayaknya Kame udah ngeliat aku ama Neta tadi. Nah sekarang kamu aku nyatakan bebas!”
“Bebas! Bebas! Emang aku tahanan! Oh, yach! Tadi itu aku bener-bener nggak tau kalo Reno dan Neta udah datang. Makanya aku tekejut setengah mati waktu tau kalian ada. Kame kirain Reno mo brantem ama Iraz.”, balasku.
“Truz satu lagi, inikan….”, sambung ku (jari ku nunjuk ke Iraz dan Neta).
“Oh.… Sebenarnya ini rencana aku dan Iraz. Waktu aku dan Iraz ngomong di kelas kemaren. Yang itu lho, yang Kame pake acara marah, ingatkan? (aku mengangguk), Iraz tau kita sobatan. Di situ Iraz bilang ke aku kalo dia suka Kame. Truz aku nggak mau hanya gara-gara ini, Iraz dan Reno brantem. Jadi ku bilang Reno itu pacarmu. Untung Iraz orangnya sportif, walaupun sedikit nekat. Jadi, dia mengurungkan niatnya itu. Tapi…. dasar Iraz orangnya agak nekat dan nggak sabaran, tau-tau dia ngomong ke Reno. Aku nggak tau apa yang membuat Iraz senekat itu.”, Neta menjelaskan.
“Oke deh, sekarang semuanya udah beres. So Kame?”, Iraz mencoba kembali pada topik semula. Aku diam lagi. Sebenarnya aku nggak pengen diam. Tapi… aduh gimana seh! Aku sendiri kesel. Iraz narik napas dalam-dalam, lalu ngomong “Yah… Bersediakah Kame menjadi pacarku? (memegang sebuah hadiah yang dari tadi dipegangnya)”
 Aduh…kok kayak acara pemberkatan gini seh! Pikirku. Lalu jawabku, “Ya, saya terima akad nikahnya dengan mas kawin sebuah kado. (sambil tertawa kecil)”
“Eh! Kok jadi acara penikahan gini. Oke deh, aku jadi…pastor ato penghulu, nih?” kata Reno sedikit bercanda.
“Oke deh, aku ngalah pastor aja.”, balas Iraz. Kamipun tertawa lepas.
Ditengah tawa kami yang menggelegar Neta ngomong “Kalo gitu aku jadi pendamping wanita, dong!”
“Aku, jadi pendamping pria!”, tambah Reno.
“Mana bisa gitu. Reno khan jadi pastor”, balasku.
“Siapa bilang! Yang jadi pastor khan si Rino! Bukan Reno. We!”, potong Reno. Tawa kami semakin menjadi-jadi.
“Oh, yach! Jadi, gimana besok?”, tiba-tiba aku teringat rencana kami.
“Nggak, jadilah. Itu main-main aku aja.”, jawab Iraz.
“Enak aja, main batal-batal! Mana bisa! Makan-makan dong”, balas Reno nggak mau ketinggalan.
***
Sekarang kami memasuki semester genap. Nggak seperti biasanya, Iraz kelihatan enggak bersemangat. Aku tanya ke Iraz kenapa dia nggak semangat gitu? Dia hanya bilang kalo dia lagi nggak enak badan. Tapi, aku nggak percaya. Aku coba cari tahu, tapi percuma! Aku sempat kesal dibuatnya. Akhirnya dia mengaku juga. Kami berempat pulang bareng. Iraz ngajak mampir ke joglo.
Di situ dia ngomong, “Dua minggu lagi, aku bakalan cabut dari sekolah. Papaku disuruh balik ke Bandung. Aku juga nggak ngerti kenapa? Aku pikir aku bisa tetap tinggal. Rupanya, papa bersikeras agar kami sekeluarga ikutan. Aku nggak tau, harus ngapain lagi!”, kami semua terkejut mendengarnya.
“Jadi, gimana nih? Kalian khan nggak mungkin cerai”, timpal Reno.
“Enak aja! Khan masih bisa jarak jauh. Anggap aja Iraz lagi ngeranto. Supaya kami bisa sama lagi, aku harus belajar keras supaya bisa jebol di PTN Jawa. Bereskhan!”, jawabku berusaha ngehibur semua dan diriku sendiri.
“Makasih Kame. Lagi pula, itu juga belum begitu jelas. Kepastiannya juga baru besok.”, balas Iraz.
“Ya, udah. Khan masih dua minggu lagi. Bagaimana kalo kita buat acara perpisahan sabtu ini”, Neta mencoba menghibur.
Aku nyoba sebiasa mungkin, tapi kayaknya nggak bisa. Dua hari ini aku nggak semangat ke sekolah. Pagi-pagi sebelum masuk, kami berempat di kelas ngobrol…
“Nanti pulangnya, kita mampir di Joglo, yach?”, ajak Iraz sedikit semangat.
“Oke! Ya khan Neta Kame?”, jawab Reno nyoba ikutan semangat. Aku dan Neta hanya mengangguk.
Kenapa seh di dunia ini harus ada geografi?! Bagiku geografi itu sangat sulit untuk di mengerti. Teng…teng…., akhirnya... Aku liat Iraz langsung melaju ke luar. Apa dia mo memastikan kepindahannya ama pihak sekolah? Tak berapa lama Iraz datang dengan Reno besertanya. Lalu manggil aku dan Neta. Kami berempat berdiri di depan kelas.
“Oh yach, papaku di Bandung selama setahun aja. Siap itu balik lagi ke Medan. Jadi hanya papa yang ke Badung.”, Iraz memulai obrolan.
“Yang, bener!”, teriak ku spontan.
“Jadi, teringatnya, pulang nanti kitakan ke Joglo? Rupanya untuk ini yach.”, timpal Reno.
“Enak aja! Memang kita nanti ke Joglo buat makan-makan, tapi bukan untuk ini. Udahlah, kalian (nunjuk ke Neta dan Reno) ngaku aja, nggak usah pura-pura lagi. Pokoknya nanti makan-makan, yach?! awas lho. Oh… satu lagi, kayaknya….kemaren ada yang niat belajar supaya jebol ke Jawa. Aku harap itu tetap berlaku. Soalnya, aku juga bakal nembak ke Jawa lho.”, balas Iraz.
“Uhu…. Dasar Iraz jaat. Iraz khan udah tau itu nggak mungkin. Eh, tapi untuk kalian bedua, makan-makannya yach! Kami kemarenkan…”, balas ku. Kami tertawa lepas lagi.
Tiba-tiba… “Eh…eh… ngapain kalian pada ketawa-ketawa di sini. Nggak tau apa udah pada masuk!”, bentak Bu Anna. Kami buru-buru masuk kelas. Untung aja guru yang masuk ke kelas kami belum datang. Sedangkan di kelas Reno yang masuk Bu Anna. Untung Bu Anna sekarang lagi baik dia membiarkan Reno masuk ke kelas.
Oleh: Santyta


Payah!


Lola seorang siswa SLTP swasta. Hari ini adalah hari pertama tahun keduanya. “La, kita sudah nggak sekelas lagi!”, keluh sahabatnya Riva.
“Iya... sayang sekali! Eh, di kelasku kita lumayan banyak lho! Gimana kalian?”, Lola menyahuti.
“Enak, donk! Tau nggak? Walaupun kami anak lama, tapi malah kami yang seperti buangan! Aku nggak mau! Aku mau kita sekelas?”, lanjut Riva.
“Aduh gimana yach...? aku ju ga! Tapi...”, Lola lagi.
Awalnya mantan 1-A masih berkumpul. Lama-kelamaan mere ka mulai berbaur. Walaupun begitu, mereka mantan 1-A masih kompak. Lola seorang anak yang cukup bandal. Tak jarang dia menjadi biang keributan di kelasnya. Padahal sebangkunya cewek pendiam bernama Yana. Anak cowok di kelasnya juga suka menggodanya, sampai akhirnya mereka kejar-kejaran.
Lola gemas melihat Dean. Berkali-kali Dean menggodanya. Dia melihat celah balas dendam. Dean disuruh guru membagi kertas ujian. Lola memasang kuda-kuda menanti kedatangannya. Begitu Dean lewat, seketika itu juga dia melepaskan pukulan penuh kekuatan ke perutnya tanpa ragu. Setelah merasa puas Lola melihat wajahnya.
Lola terkejut, “Maaf, maaf? Ku kirain Dean.”, pintanya. Ternyata, dia Revin! Dia man tan 1-B. Lola mengenal salah seorang fansnya. Dia malu sekali.
“Aduh! Eh, aku nggak apa kok.”, Revin menahan rasa sakit, lalu pergi.
Lola merasa dirinya be lum dimaafkan. Lola terus mengamat-amati Revin. Tanpa sadar Lola mulai menyukai Revin. Tampaknya Revin juga. Karena kejadian itu mereka mulai akrab. Revin mendapat pengakuan dari beberapa penggemar Lola. Ketika baru masuk SLTP saat pulang sekolah Lola pernah dijegat segerombolan anak cowok yang mencoba menggodanya. Lola hanya cuek, untung mereka tidak begitu ngotot. Melihat Lola yang cukup terkenal membuat Revin ciut...
***
Wah-wah, di sekolah heboh dengan gosip ‘Roto suka sama Riva’! Lola tidak bi sa tinggal diam. Apalagi dia belum lama ini dekat dengan Roto. Sebagai teman yang baik (dari Roto dan Riva) dia langsung mengkonfirmasikannya. Riva sudah memiliki lima orang anggota (Rinri, Linita, Mima, Delia, Sani). Mereka semua tidak begitu me nyukai Roto. Mereka menamakan dirinya Six Angel (SA). Sementara Roto memiliki Fi del, Fandi, Melgwin dan Nero juga Lola. Hubungan Lola dengan selu ruh anggota SA cukup baik. Jadi, tak sulit baginya untuk meyakinkan mereka. Proses ini cukup sulit, karena para pendukungnya menyerahkan sepenuhnya keputusan ke ta ngan Roto dan Riva. Mereka hanya berperan sebagai pendukung dan pemberi sema ngat saja. Merasa berhutang budi Roto mencoba membantu Lola. Tapi sayang disayang...
***
Kali ini Lola sekelas dengan Riva, Roto and the genk, dan Sovi. Lola asyik ngo brol dengan Tiar, Yana dan yang lainnya.
“La, tau nggak kemarenkan? Aku cerita kalo Fandi bilang lagi suka ama cewek. Truz dia ngasih tahu ciri-cirinya. Dia bilang cewek berambut hitam, lurus dan pan jang, kulit putih, tinggi sekupingnya.”, kisah Tiar.
“Hm...hm... Siapa? Biar aku tebak! Mione?”, Lola terkejut. Mione adalah seorang gadis top score di sekolah itu.
“Bukan! Tapi Lola!”, sambung Tiar.
“Ih! Nggak mungkin! Serius?!”, Lola lebih terkejut lagi.
“Iya! Dengan ciri-ciri itu kami menyebutkan beberapa nama. Saat kami menye butkan ‘Lola!’, dia langsung mengiyakan.”, sambung Tiar lagi. Lola syok. Ini benar-benar nggak bisa di percaya! Lola tidak menyangka sama sekali, cowok sehebat Fandi bisa menyukainya. Fandi seorang pemuda yang tampan, tinggi, putih diikuti kecerda san yang cukup lumayan pula. Dia menceritakan ke semua temannya. Mereka sama terkejutnya.
Roto’s genk dan Revin berkumpul. “Gimana Vin? Nggak apa?”, tanya Fandi.
“Ya udah!”, jawab Revin.
“Serius? Nanti nyesel?”, Fandi meyakinkan.
“Kita liat aja nanti. Kita khan udah sama-sama tahu dia suka sama siapa?”, Revin meyakinkan.
***
“La, kamu khan udah tahu?”, Fandi membuka suasana
“Ya. Truz?”, Lola menyahuti.
“Mmm.... apa kamu mau sama aku?”, akhirnya Fandi mengatakannya.
Lola sempat terdiam. Di situ hadir Roto and the genk, SA, sahabatnya Sovi, Bita dan Yana, Revin juga, dan masih banyak lagi. “Mmm...Ya!”, Lola melirik Revin.
“Hah! Bener! Makasih ya? (mencium tangan Lola)”, Fandi kegirangann. Roto’s genk, SA, sahabat Lola lainnya yang tahu kalau Lola suka dengan Revin terkejut mendengarnya.
***
“Fan?”, panggil Lola.
“Ya!”, sahut Fandi.
“Ini gimana sih? Aku nggak ngerti.”, tanya Lola menunjukkan soal fisika.
“Mana? Ini? Ah udahlah buat-buatin aja situ! (sedikit menyenggak)”, Fandi malas.
“Oh gitu yach? Makasih!”, Lola tak semangat. Tak jarang Fandi bersikap seperti itu dan setiap kali, Lola curhat ke Riva, Roto, dan Revin. Mereka juga sudah mencoba berbicara dengan Fandi. Masalahpun selesai.
***
“Gimana Fandi, La?”, tanya Revin.
“Ya..., gitu deh! Udah selesai kok.”, Lola tak begitu bersemangat.
“Bagus deh. (mengecup kening Lola)”, Revin mencoba menengankan. Lola tersenyum girang.
“Woi, Revin! Ngapain ko, hah!”, teriak Fandi yang kebetulan lewat. Revin hanya diam tidak tahu mau ngomong apa.
“Hei Fandi, wajar-wajar aja lagi! Dia khan sobat aku. Berarti sobatmu juga. Kok curiga ama temen sendiri sich?”, Lola balik marah.
“Bukan gitu, La! Biar kamu tahu aja ya, kalo...”, Fandi semakin panas.
“Eh, eh...apa ini ribut-ribut. Udah-udah semuanya bubar!”, potong Roto.
“Ayo La!”, ajak Riva.
“Fandi, Revin sini! Ikut aku! Masalah ini, n’tar aja di-clear-kan. Sekarang suasananya masih panas. N’tar pulang sekolah kita semua jangan langsung pulang. Aku harap masalah ini selesai hari ini!”, perintah Roto.
***
Revin, Roto dan anak cowok lainnya pada kumpul. “Sorri ya Fan, memang aku yang salah. Habis aku nggak tahan kasihan aja liat dia. Maksudku hanya mau mem bantu kok. Nggak ada maksud yang lain-lain. Aku ngerti reaksimu tadi. Aku juga kalo jadi kamu mungkin juga akan seperti itu.”, jelas Revin.
“Tapi, aku mohon jangan ka mu ulangi. Ingat, sekarang aku cowoknya! Jangan salahkan aku kalau nanti nggak bi sa nahan!”, Fandi menerima penjelsannya.
“Iya deh. Tapi..., jangan suruh aku menja uhinya.”, sambung Revin.
“Hah...!” Fandi emosi. Roto  menahan Fandi.
“Tapi tolong lihat aku sebagai temanmu. Hargai aku sebagai co-wok-nya Lola.”, Fandi mencoba menahan emosi.
“Eh..., OK friend! Thank’s berat yah.” Merekapun bersalaman lalu berpelukan.
“Udah yach? Cukup sam pai di sini!”, tutup Roto.
***
“La, Valentine ini...?”, Tanya Riva.
“Kayaknya belum. Kenapa?”, balas Lola.
“Six Angel mo ngadain acara kecil-kecilan gitu deh. Pokoknya siapa aja bisa ikut. Asal... murah kok cuma Rp 5000-, aja.”, jelas Riva.
“Ok deh!”, Lola setuju.
“Eh, itu Fandi! Fan!”, sambung Lola. Rivapun pamit.
“E...”, Fandi dan Lola bersamaan.
“Kamu duluan deh.”, Fandi mengalah. Lola memberitahukan rencana Six Angel. “Em..., (agak lama) ya udah deh.”, Fandi setuju.
“Kenapa, aku salah ya? Kamu nggak pengen?”, Lola ragu.
“Nggak, nggak! Kamu nggak salah. Aku pengen kok! Berapa tadi, Rp5000-, yach?”, Fandi meyakinkan.
“Eh, Fan...!”, Lola berkata.
“Udah dulu yach? Aku ada urusan ini nich! Dah...!”, potong Fandi.
“Tadi khan dia juga mo ngomong? Ta pi kok nggak jadi? Em...”, Lola bergumam sendiri.
***
Acara ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang sedang pdkt. Peserta ti dak begitu banyak. Mereka mengadakannya di rumah Arna. Mereka memanfaatkan ha laman belakang rumahnya yang lumayan luas. Mereka menyediakan semuanya sendi ri. Semua peserta ikut mempersiapkan party. Mereka sepakat berada di rumah Arna da ri pagi (jam 08:00).
“Eh, Revin! Kamu juga ikutan?”, Lola kegirangan.
“Iya donk! Siapa aja bisa ikut khan?”, Revin santai.
“Nggak, aku heran aja. Tapi, bagus, deh!”, jelas Lola. Mereka menamakan acaranya dengan ‘Valentine lunch’.
“Ya, sekarang kita masak mie!”, ajak Riva. Lola, Sani dan beberapa anak cewek lainnya ikut membantu.
“Aduh! Gimana nih, cabeku habis?”, keluh Arna. Riva lalu memanggil beberapa anak cowok.
“Kalian pergi dulu, ke kede beli cabe ½ Kg! Cepat yach?!”, perintah Riva.
“Aduh, kami mana ngerti yang gituan. Kalian nggak bisa?”, keluh Fidel.
“Oh! Nah lah, kalian yang masak yach?!”, Riva kesal.
“Ya, udahlah, udahlah! Mana?”, mereka (anak-anak cowok) mengalah. Tak, lama. “Nah!”, Fidel menyerahkan cabenya.
“Aduh...! Gimananya kalian? Masa cabe rawit? N’tar mie kita jadi super pedas!”, keluh Riva.
“Khan, tadi udah ku bilang kami mana ngerti!”, Fidel tertawa. Dasar, Fidel sengaja membawa cabe rawit.
“Coba, gimana rupanya tadi kalian bilang?”, Riva mencoba bersabar.
“Oh, gini. Kami bilang, ‘Kak, beli cabenya?’ ‘Cabe apa?’, tanyanya. ‘Pokoknya cabelah kak!’, jawab ku. Dia nunjuk cabe rawit. Aku khan nggak ngerti, ya ku iya khan aja. ‘Berapa?’, katanya. Kami bilang, ‘setengah kilo’”, jelas Fidel. Sementara Riva dan Fidel beredebat, Arna langsung pergi membeli cabe merah.

“Ayo-ayo makan! Tapi jangan banyak-banyak yach? Masih ada puding lho?”, a jak Delia. Mereka duduk membentuk lingkaran. Riva mulai membagi. Piring yang te lah diisipun diputar/ oper. Di sebelah Riva duduk Nero, mereka dipisahkan mangkuk berisi mie yang akan dibagikan Riva. Piring yang dioper sampai ke tangan Nero. Da sar, si Nero usil! Dia mengembalikan mie ke dalam piring ke mangkuk itu. Semua ter tawa melihatnya. Riva sedikit kesal. Nero menghentikan aksinya.
“Aduh! Break dulu donk? Aku kekenyangan nich! N’tar aja lagi photo-photonya.”, keluh Melgwin.
“Em ....”, sambung semua personil cowok.
“Eh, kita photo bareng-bareng dulu!”, usul Mima.
“Boleh-boleh!”, mereka bersahutan.
Dalam photo itu Lola dan Revin langsung mengambil posisi di tengah pada bari san depan. Mereka tidak sadar mereka diapit oleh orang-orang sekitarnya. Lalu, dilan jutkan dengan para pasangan baik yang baru jadi hari itu atau yang belum. Lola terli hat kaku berphoto dengan Fandi. Sangat berbeda ketika photo bersama. Mereka semu a sangat menikmati acaranya.
***
“La, ada bawa komik?”, Tanya Fandi.
“Em... Oh, bawa, bawa. Tapi, macam ng gak tahu cewek aja?”, jawab Lola.
“Nggak papa. Coba liat?”, Fandi lagi. “Nah!... Eh, Bu Clara!”, kata Lola.
Bu Clara adalah guru fisika. Mereka sedang mengikuti les tambahan, program sekolah untuk persiapan menghadapai Ujian Akhir. Ibu Clara sudah asyik menerangkan, Lola mulai bosan. Dia melirik ke sekelilingnya.
“Eh, Fan di! Tutup! N’tar ketangkap!”, perintah Lola. Fandi menurut. Lola kembali konsentrasi.
“Apa itu?”, tegur Bu Clara.
“Fandi, sini-sini?!” perintah Bu Clara. Fandi tidak ada pilih. Dia terpaksa menurut. Semua perhatian tertuju padanya.

“Hah! Fandi....uhu...”, Lola pelan. Sepulang dari les, Fandi menjumpai Bu Clara. Sementara itu Lola menunggunya ditemani Bita.
“Kenapa sih, kamu membandel? Mana?”, Lola masih kesal.
“So ri... Bu Clara bilang kamu yang minta.”, Fandi lemas.
“Tunggu aku di sini!”, perintah Lola. Semua sudah pada pulang. Hanya mereka bertiga siswa yang masih disekolah.
“Kamu gimana sih? Kata Bu Clara, kamu.”, Lola kesal. Sekali lagi fandi pergi.
“Kata nya n’tar aja tunggu kita tamat.”, Fandi mengabari.
“Em...m...m...”, Lola makin kesal. Mereka hanya terdiam menunduk sambil berjalan berdua ditemani Tiar.
***
“Fan, ntar lagi kita tamat, rencana ngelanjut ke mana? Dilihat dari prestasimu, pasti... Ku dengar kamu rencana nyambung ke SMU plus, bener?”, Lola yang baru datang menghampiri Fandi.
“Mmm...Iya?”, Jawab Fandi.
“Wah bagus itu aku dukung kok! Fandi nggak usah takut! Kalo aku sih Fandi khan tahu prestasiku nggak seberapa. So pasti aku di Medan ini aja.”, Lola semangat.
“Iya. Kalo bisa aku lanjut ke SMU di Balige. Mmm...agak berat sih. Tapi...gimana kalo kita putus?”, Fandi memutuskan.
“Lho kok?”, Lola terkejut.
“Jujur bagiku ini nggak gampang. Tapi, kalau dilihat-lihat hubungan kita yang belum ada setahun ini selalu saja bermasalah. Bisa dibilang lamanya kita berbaikan termasuk dalam hitungan hari. Masih berdekatan aja, apa lagi...? Tapi, aku mohon kita masih bisa tetap berteman. Walaupun aku tahu Lola banyak nggak nyamannya sama aku.”, Fandi menjelaskan.
“Oh...Ya udah! Kalo itu memang keputusanmu. Tapi, kalau dipikir-pikir omonganmu ada benarnya juga. Di sini aku juga salah. Sekarang aku mau jujur ke Fandi soal...”, Lola menyampaikan sesuatu.
“Cukup! Kalo Revin, aku udah tahu.”, potong Fandi. “Eh, tapi aku khan belum ada ngomong ke siapapun.”, Lola terkejut.
“Aku tahu. Perlu Lola tahu, aku, orang Roto, dan orang Riva udah curiga.”, Fandi memberitahukan.
“Aduh, aku jadi malu. Maafin aku yach?”, Lola terkejut lagi.
“Kalau ngomong siapa yang salah, di sini kita semua salah. Kami curiganya Lola suka Revin. Tapi masih juga... Oh yach, aku hampir lupa. Makasih yach, Lola telah bersedia menjadi pacarku?”, sambung Fandi.
“Sama-sama.”, balas Lola.
“Mmm... boleh nggak aku meluk kamu untuk yang pertama dan yang terakhir kali.”, pinta Fandi.
“Mmm...Boleh-boleh.”, Lola mengizinkan.
“Makasih ya La. Kamu baik banget.”, kata Fandi.
“Nggak segitunyalah?”, balas Lola.
***
“Kami dah putus, Vin. Selanjutnya...”, Fandi ke Revin.
“Lho kok?”, Revin bingung.
“Kamu nggak usah ke-GR-an dulu. Aku begini bukan tanpa alasan. Aku positif akan melanjut ke Balige.”, Fandi menjelaskan.
“Tapi khan..?”, Revin berkata.
“Realistis dikit donk! Udah deketan gini aja...? Apalagi...? Kalian memang... Terlihat jelas waktu Valentine kemaren.”, potong Fandi.
“A, itu beneran aku nggak sengaja. Ku pikir di samping ku siapa? Setelah melihat hasilnya aku baru nyadar.”, Revin menjelaskan.
“Sudahlah! Sebenarnya kalian itu udah sama-sama saling suka. Dasar, kalian memang pasangan yang payah! Apa susahnya sich, jujur pada diri sendiri! Aku nggak rela orang lain menggantikan ku. Kami semua dukung kok! Ok!”, Fandi meyakinkan.
“Em... Thank’s berat ya friend.”, Revin menghela nafas.
“Nah, gitu donk! Khan enak jujur pada diri sen diri.”, Fandi lega.
“Eh, ada apa nih rame-rame?”, Lola heran melihat SA dan Roto’s genk.
Dari ke jauhan terlihat Datta bersama Revin berjalan ke arah mereka. Melihat Datta bersama Revin yang datang menghampiri, Lola semakin bertanya-tanya.
“Eh, mo ada pesta perpisahan ya?”, katanya.
“Hey Vin?”, Datta menyenggolnya. Revin tetap diam.
“Oh yach, mana tadi, Riv? Biar ku catat sekarang.”, Lola meminta teks lagu ke sukaannya ke Riva.
“Udahlah Vin? Khan tadi khan aku udah cerita. Gimana sih, ayo cepet!”, perintah Fandi.
“A...,”, Revin hendak berkata.
“Udah! Cepet sana?”, Fandi lagi.
Revin pun mendekati Lola yang sedang menulis, menunggunya selesai. Tak sampai tiga menit, tiba-tiba Lola teriak sambil mengangkat tangan “Selesai!” Lola terkejut melihat Revin yang sudah stand by di depannya.
“Eh, apaan nich?”, Lola menunduk gugup. Revin menghela nafas lalu menangkap kedua tangan Lola. Karena terkejut Lola langsung mengangkat wajahnya.
“Aaa...”, Lola hendak bertanya lagi.
“Lola, bagaimana kalau kita...pa-ca-ran?”, potong Revin.
“Akhirnya...”, sahut mereka bersamaan, pelan sambil menghela nafas.
“Iii...ya donk!”, Lola dengan suara agak serak karena menangis kegirangan.
“Udah lama lagi, aku pengen dengar ini dari kamu, bukan..., op sori”, sambung Lola melirik Fandi. Fandi hanya tersenyum lega.

Oh yach, ada yang tertinggal! Kisah Roto dan Riva tidak begitu berkembang. Ri va tidak berani untuk berfikir lebih jauh. Baginya untuk saat ini cukup hanya dengan sahabatan dulu. Orang tuanya melarang keras untuknya berpacaran.
Oleh: Santyta

Cerita ini ku dedikasikan untuk semua sahabat-sahabatku di SLTP. Terima kasih untuk kalian semua yang telah mau menjadi sahabatku. Banyak yang aku dapatkan dari kalian semua. Sekali lagi TERIMA KASIH.

Maksudnya apa sich?


Aku dan sepupuku Artha sedang asyik mengobrol di kamar. Aku mendengar suara dari balik pintu kamar. Ternyata Misy sobatku yang membuat suara itu. Aku sangat terkejut dibuatnya. Ada urusan apa dia datang malam-malam begini? Dia bersama seorang temannya. Ternyata, temannya itu cowok! Aku tahu sekarang! Kalian ngerti sendiri lah! Aku tidak mau keluar. Dia sudah menunggu di ruang tamu. Aku dan Misy bersitekak. Aku tinggal bersama orang tua. Aku juga memiliki seorang abang dan empat orang kakak. Mereka semua masih tinggal bersama ku sekarang. Aku sangat menghormati dan menyayangi kedua orang tua, kakak-kakakku dan abangku. Mereka semua adalah idolaku. Aku takut citra Misy di mata mereka semua rusak hanya gara-gara ini. Akhirnya akan sangat mempengaruhi persahabatan kami. Bila hal itu sungguh terjadi, itu merupakan suatu dilema bagiku. Artha hanya terdiam menyaksikan perdebatan kami. Misy mencoba meyakinkan aku. Dan…akhirnya aku mengalah.
Kami bertiga keluar menjumpainya, lalu Misy dan Artha masuk lagi ke kamar, me ninggalkan kami berdua di ruang tamu. Kamipun berkenalan, namnya Karel dan aku Felsa. Kurang lebih satu jam kami mengobrol. Percakapan kami tadi suasananya sangat kaku, seperti wawancara! Sesungguhnya aku merasa sedikit bosan. Aku bisa bertahan ha nya demi menghargai Misy.
***
Aku dan Artha sebaya. Sekarang kami menunggu pengumuman lulus-lulusan SMA dan persiapan SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Semenjak itu aku dan Misy sering kontak-kontakan. Misy meminta ku agar aku dan Karel bertemu lagi. Hal ini sedikit sulit ku lakukan. Jadwal intensifku sudah sangat padat. Aku memulai intensif setelah UAN (Ujian Akhir Nasional). Tapi Misy terus mendesakku. Sekali lagi, aku mengalah.
Hari selasa, ku lihat jam tanganku, pukul 18:30. Aku sedang mengikuti di tempat bimbingan belajar. Di akhir intensif, sebelum pulang setiap tentor yang masuk mengadakan kuis. Hal ini dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui sejauh mana kami dapat menyerap materi yang baru saja disampaikan. Begitu selesai kuis aku buru-buru permisi duluan pulang dari. Artha sudah menunggu ku di luar. Kami intensif di tempat yang sama. Begitu aku keluar, kami langsung melaju ke Joglo UDA. Tampaknya kami sudah terlambat. Aku biasanya tepat waktu. Sesampainya di sana, kembali ku lihat jam tanganku (18:35), aku terlambat lima menit. Ku pandangi sekitar Joglo, belum ada tanda-tanda kehidupan dari Misy dan Karel. Lima belas manit kemudian, mereka tak kun jung datang. Aku mulai merasa kesal. Akhirnya pukul 19:00 kami memutuskan untuk pu lang. Hu…uh dasar mereka! Aku menyesal telah menyianyiakan waktuku. Kami sampai di rumah pukul setengah delapan lewat. Lima belas menit berlalu, aku dikejutkan dengan ke datangan mereka. Tadinya aku hendak makan, tapi  ku tunda dulu. Aku langsung menjumpai mereka.
“Aku baru nyampe! Belum makan! Tunggu di sini!”, ucapku masih kesal. Begitu selesai makan, aku keluar lagi menjumpai mereka. Aku melihat mereka sinis.
“Ini semua gara-gara Karel! Dia baru datang jam tujuh.”, Misy menjelaskan.
Mendengar itu aku menjadi semakin panas. Aku tidak peduli siapa yang salah. “Aku sekarang lagi kesellllleo! Kalo aku lagi kesel jangan ku lihat muka orang yang membuat aku kesel. So, bagusan kalian pulang saja!”, aku mencoba menahan emosi.
Misy menyuruh Karel meminta maaf, sambil berusaha membujuk ku dengan segala jurus-jurusnya. Rasa marah bercampur kesal masih menguasaiku. Aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak terbawa emosi. Akhirnya, mereka menyerah dan memutuskan untuk pulang.
***
Pendekatan Karel ini yang tahu hanya kami berenam (aku, Artha, Misy, Flo, Lita, dan Karel). Mungkin, kedua orang tua dan kakak-kakakku sudah tahu. Dan mungkin juga mereka menunggu sampai aku sendiri yang cerita. Kami berempat  sobatan sejak kelas satu SMA. Kami berteman sangat akrab. Begitu akrabnya, hingga kami berharap persahabatna kami akan abadi. Tapi semenjak kelas dua, Flo berubah. Mungkin itu karena aku dan dia tidak sekelas lagi. Walaupun begitu Flo masih kami anggap sebagai teman. Kami sama sekali tidak membencinya. Misy sangat tidak terima dengan perubahan Flo itu, sedangkan aku dan Lita biasa saja. Tapi, ketika Flo mendekati kami, Misy malah yang paling semangat. Sementara, aku dan Lita biasanya aja tuch! Aku, Lita dan Flo teman satu SMP. Lita dan Flo sudah bersahabat sejak kelas dua SMP. Sedangkan aku baru bergabung dengan mereka setelah masuk SMA.
***
Misy meneleponku. Dia berniat memberitahukan nomor teleponku kepada Karel. Aku mengindahkan niatnya itu. Satu lagi maunya, dia ingin aku berkunjung ke rumah Karel. Untuk yang satu ini aku jelas-jelas menolaknya.
“Tapi kemaren, aku minta nomor teleponnya saja ko bilang, ‘Gengsilah, Fel!’ mananya?!”, kataku mengeles.
Dia hanya terdiam, lalu beralih ke topik lain.

Karelpun jadi sering menghubungi ku. Setelah beberapa kali bertelepon, “Aku suka kamu Fel.”, katanya.
Tapi jawabku, “Aduh… apa itu nggak bisa kita bahas nanti aja?”
“Nantinya itu kapan? Yang pasti donk.”, desak Karel.
“Em…, gimana kalo selesai SPMB ato kalo bisa selesai pengumuman?”, tawarku.
“Aih…kenapa harus nunggu pengumuman sich? Kelamaan!”, desak Karel lagi.
Aku mencoba menjelaskannya. Untunglah dia mau mengerti.
***
Misy menelepon lagi “Fel, Karel kecelakaan! Sekarang aku ke rumahmu yach? Kita jenguk dia, yuk?”, Misy terdengar hampir menngis.
“Ah……iiiya!”, aku panik.
Kami pergi naik angkot (angkutan kota). Di angkot kami ngobrol, “Kapan Misy kenal Karel?”, tanyaku.
“Baru kemaren. Pas baru-baru masuk kelas tiga.”, Misy santai.
“Lho! Berarti Misy tidak begitu mengenal Karel donk!?”, aku terkejut.
“Em…sebenarnya…dia suka ama aku. Sementara aku menganggapnya seperti abang kandungku sendiri. Tolong aku yach, Fel?”, jelas Misy.
“Yah! Apanya maksudmu? Jadi maumu sisa-sisamu sama aku, gitu?! Tega kali kau sama aku!”, aku tak terima. Tapi suasa masih terkendali.
“(menunduk terdiam sejenak) M….Kemana pula si Nimo? Dia khan sisa-sisa kalian. Truz, kalian ejek aku sisa-sisa lagi!”, Misy membela diri.
“Lho! Itu khan laen. Sapa suru nggak ada yang Misy suka di antara mereka berempat. Kebetulan aza kami suka orang yang berbeda, dan yang tersisa tinggal si Ni mo. Truz itu khan maen-maen, masa dianggap serius seh!”, sanggahku.
Di sekolah ada genk cowok yang beranggotakan empat orang. Yaitu, Angga, Hendro, Alex dan Nimo. Aku menyukai Angga. Lita menyukai Hendro. Dan Flo menyukai Alex. Sementara Misy tidak ada menyampaikan pendapatnya kepada kami. Oleh karena itu, kami menetapkan dia menyukai Nimo. Di antara kami terbiasa bercanda. Misy tidak terima. “Jadi, maksud kalian sam aku sisa-sisa?!”, katanya. Karena ucapannya itu kami menjulukinya ‘sisa-sisa’.
“Truz, si Andre?!”, sekali lagi Misy membela diri.
Aku pernah menyomblangi dia dengan Andre. Tadinya, aku menyukai Andre. Aku tidak tahu ntah Andre menyukaiku atau tidak. Aku menyukainya sejak kelas dua SMP. Kami teman satu SMP. Aku sudah capek meneliti perasaan Andre. Cukup lama aku menantikan pengakuan darinya. Tapi, pernyataan itu tak kunjung terjadi. Akhirnya aku memutuskan untuk melupakan perasaanku. Walaupun perasaanku tak kunjung berbalas, aku tidak membencinya. Dapat menjadi temannya saja, itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Dengan dijadikannya Andre sebagai alasannya, hal ini menunjukkan seolah Andre menyukaiku. Dan karena aku tidak menginginkannya, aku memberikannya kepada Misy. Kesimpulannya, hal yang dilakukannya terhadapku sekarang, sama halnya dengan penyomblanganku terhadapnya dengan Andre.
“Lho! Itu lagi! Jelas beda donk! Aku udah kenal dia sejak SMP. Kami khan teman satu SMP, lagi! Sedikit banyaknya aku sudah tahu gimana baik buruknya Andre.”, aku tidak terima.
“Felsa juga khan, pernah suka ama dia!”, Misy coba mengingatkanku.
“Misy khan udah tahu, sekarang nggak ada apa-apa lagi diantara kami.”, aku balik mengingatkannya.
“Ah, udahlah! Eh, pinggir bang!”, Misy kehabisan kata-kata.
***
Hari senin, kira-kira satu minggu setelah Karel pulang dari rumah sakit, dia menelepon. Ini bukan pertama kalinya dia menelepon ku dalam satu minggu belakangan. Dia meminta jawabanku atas penembakannya kemaren. Aku jelas terkejut donk! Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja, hal ini cukup serius! Karenanya aku meminta dia untuk bersabar sampai pada saat kami bertemu lagi. Kami sempat bersitekak di telepon. Akhirnya aku meminta waktu seminggu, dan kami sepakat. Aku bermaksud terlebih dahulu curhat dengan Kak Tori, sementara dia masih di Jakarta. Dia kakak kandungku. Menurut rencana, dia pulang minggu depan. Aku menceritakannya kepada Artha, dia sepandapat dengan ku.
***
Keesokan harinya, tengah hari bolong, telepon berdering lagi. Aku pikir dari siapa? Ternyata, Karel lagi, Karel lagi! Dia meminta dijawab sekarang juga. Karnanya sekali lagi, kami bersitekak. Kami cukup lama bersitekak, dan sekali lagi kami sepakat, ‘Dua hari lagi!’.
Hari Rabu, sekitar pukul tujuh malam, aku dan Artha sampai di rumah. Kami baru selesai mengikuti intensif. Kira-kira pukul delapan kurang, telepon berdering.
“Hallo, bisa bicara dengan Felsa?”, katanya.
“Ya, ini aku. Ada apa?”, balasku. Aku langsung dia Karel.
“Em…Felsa. Janji jangan marah yach?”, tanyanya.
“Emang ada apaan, seh?”, aku penasaran.
“Pokoknya, janji enggak bakalan marah, yach?”, desaknya.
“Aduh… payah banget seh! Ok deh, ok, ok!”, aku mengalah.
“Janji yach?”, Karel belum yakin.
“Ih ih… ya, ya, aku janji! Apaan seh?!”, aku mulai kesal.
“Em… (diam seben tar) Fel, sebenarnya, aku sudah punya pacar. Aku nembak Felsa, hanya maen-maen. Sorry yach?”, Karel merasa tak bersalah.
“Oh, gitu yach! Baguslah!”, aku ketus.
“Makanya, hari ini aku buru-buru nelepon Felsa. Felsa beneran nggak marah khan?”, Karel tak menyadari kemarahanku.
“Menurutmu?!”, aku mencoba santai.
“Lho! Tapi, tadi khan udah janji. Aku sengaja nelepon sekarang karena besok Felsa memberi jawabannya. Lagian, aku khan udah jujur. Seharusnya dihargai donk! Bukannya aku nggak mau ama Felsa. Aku nggak mungkin mutusin dia, Fel.”, Karel menyadari kemarahanku.
“Jadi, maksudmu?!”, aku mulai panas.
“Gimana kalo kita sahabatan aja?”, bujuk Karel.
“Enak kali kau buat yang hidup itu, yach! Oh yach, mana Misy?! Kok dia diam aja?!”, aku semakin panas.
“Itulah, dia juga marah ama aku? Dia nggak tahu apa-apa, maafin dia, yach?”, Karel mencoba menyelamatkan Misy.
“Enak kali dia! Kok kayak nggak bertanggung jawab gitu?! Dia anggap apa aku ini?! Kok dia belum nelepon?!”, aku juga menyalahkan Misy.
“Aduh Fel, dia takut.”, Karel lagi.
“Ngapain dia takut, kalo dia memang nggak salah!”, aku masih panas.
“Kayaknya, Felsa marah betul, nih. Udah dululah yach? Nanti ku telepon lagi.”, Karel menyadari emosi yang sudah memuncak.
***
Karel menelepon lagi, “Hallo Fel?”
Ada apa lagi?”, aku ketus.
“Aduh, masih marah yach?”, Karel santai.
“Suruh Si Misy nelepon aku! Kok maen lepas tangan gitu dia, hah?!”, perintahku.
“Khan, udah ku bialng, bukannya aku nggak mau ama Felsa…”, bujuk Karel.
“Ih….! Ngakui kau sebagai temanku aja, aku malu! Apa lagi jadi pacarmu! Baru juga kenal! Kau kira aku terobsesi kali sama mu?! Sorry aja yeah….! Walaupun pilihan cuma satu, tetap harus dipilih!”, potongku meruntuhkan kenarsisannya.
“Ok-lah, kalo gitu.”, Karel mengalah.

Aku langsung menelepon beberapa sahabatku; Sovi, Andre, Flo, Lita, dan Roto. Aku ceritakan semuanya ke mereka. Menurut Sovi, Flo, dan Roto aku jangan keburu menyalahkan Misy. Yang pasti bersalah adalah Karel. Agak berbeda dengan Lita, dia menyalahkan mereka berdua, sementara Andre biasa saja. Andre lumayan dekat dengan Misy , jadi aku memintanya menyelidiki Misy.
***
Seminggu telah berlalu.
Misy baru meneleponku. “Hallo Fel?”
“Kok baru nelepon?!”, tanya ku ketus.
“Felsa nggak marah khan?”, Misy merasa sudah aman.
“Maumu?! Lagi pula aku khan, udah mengingatkanmu sebelumnya. Tapi dasar kau yang badel! Akibatnya, aku yang jadi korban sekarang! Percuma saja kita sudah sobatan selama tiga tahun ini! Baru sekarang nampak aslimu! Tega kali kau sama aku, yach?”, ungkapku.
“Apa rupanya dibilangnya?”, Misy santai.
“Cobalah dulu kalian diskusikan berdua. Baru kau nelepon aku lagi.”, aku mulai muak.
“Aku bener nggak tahu. Dia itu, waktu nembak Felsa juga nembak cewek yang kos di rumahku.”, katanya.
“Udah?! Itu aja?!”, aku sudah malas.
“Aduh! Kayaknya Felsa serius marah nih? Udah dulu yach? Tapi Fel, aku benar-benar nggak tahu.”, Misy menyerah.
***
Karel masih juga nelepon aku! Padahal aku udah cape ngomong kasar. “Jadi sampe kapan nih marahnya?”, katanya.
“Sampai kapanpun!”, aku kesal.
“Sampai kapanpun?”, Karel meyakinkan.
“Iya!”, tegasku.
“Hanya marah khan? Berarti, kalo aku rindu masih bisa nelepon donk?”, Karel mencoba merayuku.
“Nengok mukamu, dengar suaramu, pokoknya aku nggak mau lagi!”, tegasku lagi.
“Sampai kapan?”, karel tak menyerah.
“Sampe kapanpun!”, aku ketus.
“E…satu minggu?”, tebaknya.
“Nggak!”, aku masih ketus.
“Satu bulan?”, tebaknya lagi.
“Nggak!”, balasku.
“Satu tahun?”, Karel memberikan penawaran terakhir.
“Nggak!”, jawabku.
“Jadi sampe kapan donk?”, Karel mati kamus.
“Sampe selama-lamanya!”, tegasku.
“Apa! Selama-lamanya?!”, Karel terkejut.
“Iya! Sampai selama-lamanya!”, tambahku.
“Walaupun hanya suaraku?”, Karel.
“Iya!”, kataku.
“Kalo gitu selamat tinggallah Fel?”, karel menyerah.
“Iya! Selamat tinggal!”, ulangku.
Ku pikir sekarang aku sudah bisa tenang. Dulu aku juga pernah hampir ja dian, tapi kejadiannya tidak seperti ini.
Beberapa hari berlalu. Rupanya, dia belum jera-jera! Dia tetap pada pendiriannya, kami bersitekak lagi. Tapi, jawabanku tetap sama ‘TIDAK!’. Dasar cowok aneh! Aku sempat takut, kalau-kalau hal ini akan sangat mempengaruhiku. Sebentar lagi aku akan mengikuti ujian.SPMB.
***
Akhirnya SPMB dapat ku lalui dengan baik. Paling tidak aku tidak mebiarkan lembar jawabanku banyak yang kosong. Papa sangat yakin, kalau aku akan lulus. Dia katakan ke orang-orang kalau aku akan lulus di Sastra Jepang. Saat ini aku hanya bisa berharap saja. Aku tidak berani meng-iya-kan atau berkomentar macam-macam.
 Saatnya pengumuman. Aku sangat bersyukur, ternyata aku lulus. Benar dugaan Pa pa, aku lulus di Sastra Jepang. Misy masuk ke sekolah asrama yang peraturannya ketat. Dia melanjut ke pendidikan Akademi Keperawatan. Sejak dia masuk asrama, kami sudah sangat jarang berkomunikasi.
Misy meminta ku datang ke rumahnya. Sebelumnya, dia mengadakan pesta perpisahan. Tapi, sungguh sangat disayangkan. Pada saat yang sama, aku mengikuti ospek. Misy sempat kecewa. Ku dengar, sedikit orang yang datang.
Awalnya aku agak sulit menerima Misy kembali menjadi temanku. Tapi, entah apa yang membuatku dapat menerimanya kembali menjadi temanku. perlahan-lahan hubungan persahabatan kamipun kembali pulih seperti semula.
***
Awal Bulan November, sebentar lagi Natal. Sebagai anak baru, aku ikut berpartisi pasi menjadi peserta paduan suara untuk Natal di kampus. Jumat malam, aku baru pulang dari latihan. Sedang asyik-asyiknya nyuci piring, aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang teman. Mungkin saja Roto yang datang, pikir ku.
“Lho!”, aku terkejut.
“Masih ingat aku?”, katanya.
“Masih-masih. Bentar-bentar, diam aja. Aduh siapa sih namamu? Aduh…siapa sih?!”, aku mencoba mengingat. Sebenarnya aku sudah ingat. Tapi berpura-pura masih lupa. Aku tidak ingin dia menjadi besar kepala.
“Karel. Ingat?”, potongnya.
“Ah, iya! Ingat, ingat.”, aku pura-pura baru ingat.
Dia bersama seorang temannya. Mereka naik sepeda motor. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya! Maunya sih ku usir. Tapi, hati nuraniku mengatakn tidak. Aku mepersilahkan mereka duduk di teras.
“Ngapain klen datang? Apakah ada angin barat berhembus dari timur? Ato angin timur berhembus dari barat?”, aku mencoba bersikap sopan. Mereka hanya tertawa.
“Karel rindu.”, teman Karel pelan tak meyakinkan. Karel tersipu malu.
“Oh, yach! Kenalin temanku.”, Karel mengambil alih.
Kami bersalaman. “Dean.”, katanya.
“Felsa.”, kataku. “(diam sebentar) Di sini ajalah yach? Malas. Lagi pula Papaku lagi ada tamu.”, sambungku.
“Ya udah, nggak papa.”, balas Dean.
“Eh, kalian nggak minum?”, tanyaku.
“Enggak usahlah. Tadi baru minum juga di rumah teman”, jawab Dean.
“Oh…ba guslah. Aku jadi nggak repot.”, aku pura-pura bersahabat. Selanjutnya aku hanya diam. Mereka juga.
“M…kalian dua ngomonglah.”, Karel memecahkan keheningan.
Akupun memulai obrolan. Sedang asyik ngobrol, bisa-bisanya Karel berdehem. Aku cuek aja. Karel pantang menyerah, lalu berkata, “Minumnyalah Fel.”
“Lho! Tadi katanya, baru dari rumah teman. Gimananya, suka-suka kalian aja! M… air putih aja yach? Gula kami habis. Lagian repot buat teh manis.”, aku mematahkan semangatnya.
“Nggak papalah.”, Karel.
Tak berapa lama, aku datang membawa tiga gelas air putih. “Ini nih, yang spesial buat Karel.”, Dean menggoda.
Aku hanya mencibirkan mulut ku. Aku mulai merasa muak! Kami melanjutkan obrolan. Tak berapa lama, aku teringat, katanyakan rumah Karel di Deli tua. Daerah yang tergolong jauh dari rumahku. Akupun berkata, “Eh, udah jam dela pan kurang nih. Kalian nggak pulang?”
“Ntar lagilah Fel.”, jawab Karel.
“Ya udah.”, aku tak kelihatan mengusir. Kami melanjutkan obrolan.
Kira-kira dua puluh menit kemudian, Karel bertanya, “Udah jam berapa Fel?”
“M…jam delapan lewat.”, jawabku.
“Kayaknya, kami udah bisa pulang nih?”, balasnya.
“Oh yach! Baguslah!”, aku lega.
Mereka langsung bergegas pulang. “Eh iya, Mamamu?”, tanay Karel.
“Aduh, Mama…(mengecek) Lagi ada tamu. Papaku aja mau?”, jawabku.
“Apa! Nggaklah. Kami langsung pulang ajalah yach?”, Karel ciut.
“Oh, iya ya. Cepatlah kalian pulang. Kalau begitu, selamat pulanglah yach?”, aku tak sabar.
Aku langsung masuk ke rumah, sementara mereka belum bener-bener pulang. Aku harap dari obrolan kami tadi, aku sudah mebuatnya jera. Kembali ku hubungi Sovi dan Roto. Ku ceritakan semuanya. Aku takut, kalau-kalau... Menurut mereka dia sudah ku buat jera. Aku benar-benar nggak tahu lagi harus ba gaimana. Dasar, cowok aneh sialan! Maksudnya apa sich?!

Oleh: Santyta